UJIAN LUAR BIASA UNTUK ORANG HEBAT
Suatu ketika Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Mana yang lebih hebat bagi seseorang, antara dikokohkan (dimenangkan) atau di...
https://rohman-utm.blogspot.com/2017/07/ujian-luar-biasa-untuk-orang-hebat.html
Suatu
ketika Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang, “Mana yang lebih hebat bagi
seseorang, antara dikokohkan (dimenangkan) atau diberi ujian.” Lalu Imam
Syafi’i menjawab, “Ia tidak dikokohkan sebelum diberi ujian” (لَا
يُمَكَّنَ حَتَّى يُبْتَلَى) (Ibnu Al-Qayyim: 283).
Demikianlah
sunnatullah terjadi pada orang-orang hebat di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Mereka tidak diberikan kemenangan sebelum diuji hingga berdarah-darah.
Karenanya Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَشَدُّ
النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ يُبْتَلَى
الرَّجُلُ عَلٰى حَسَبِ دِيْنِهِ فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلَبًا اِشْتَدَّ
بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَةٌ اُبْتُلِيَ عَلٰى حَسَبِ دِيْنِهِ
(رواه الترمذي وابن ماجه)
“Manusia
yang paling dashyat cobaannya adalah para anbiya’ kemudian orang-orang serupa
lalu orang-orang yang serupa. Seseorang itu diuji menurut ukuran agamanya. Jika
agamanya kuat, maka cobaannya pun dashyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia
diuji menurut agamanya” (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
Lihatlah
kisah Nabi Nuh alaihissaam yang habis-habisan memakai segala
cara, siang dan malam, untuk meyakinkan kaumnya agar bertaubat kepada Allah.
Jika hal itu dilakukan selama jangka waktu yang pendek, barangkali banyak orang
yang mampu melakukannya. Akan tetapi Nabi Nuh melakukan ini hingga
beratus-ratus tahun lamanya. Bahkan beliau diberi usia oleh Allah ta’ala hingga
950 tahun. Demikianlah ujian berdakwah yang dahsyat, untuk orang hebat sehebat
Nabi Nuh yang termasuk dalam kategori Rasul-rasul Ulul Azmi.
Kisah
tiga orang Nabi dan ash-habul qaryah dalam surat Yasin dalam
mendakwahi kaumnya juga menjadi teladan luar biasa. Ada pengorbanan berdarah
dari salah seorang kaumnya yang mengikuti ajaran tiga Nabi tadi. Orang tersebut
dengan lantang membela tiga Nabi tadi dengan untaian kata yang penuh makna.
Hingga berakhir dengan reaksi keras dari kaumnya, yang membawa kepada
kematiannya. Dengan demikian sudah cukup bagi Allah untuk memenangkan tiga
orang Nabi tersebut. Walaupun kaumnya tidak beriman saat itu, tetapi kisah
tersebut menjadi inspirasi bagi setiap perjuangan dakwah, hingga yaumil
qiyamah. Kemenangan tidak harus terjadi sesaat setelah perjuangan berdarah.
Kemenangan sesungguhnya adalah ketika sebuah peristiwa perjuangan menjadi
inspirasi dahsyat bagi orang-orang hebat setelah itu. Ujian hebat hanya untuk
orang dahsyat.
Kisah ash-habul ukhdud juga
memberikan pelajaran penting tentang makna sebuah pengorbanan berdarah untuk
meraih sebuah kemenangan. Seorang anak brilian dan gurunya, seorang pendeta,
harus mengorbankan dirin dan mengikhlaskan kematiannya sendiri, untuk sebuah
kemenangan hakiki. Kemenangan yang bukan di dunia, tetapi di akhirat kelak.
Kemenangan diri dalam beriman yang berakhir pada dibakarnya secara hidup-hidup
seluruh kaumnya, sepeninggal mereka berdua. Hanya karena satu hal, “mereka
beriman”. Ujian dahsyat hanya untuk orang-orang hebat seperti mereka.
Nabi
Yusuf yang diberikan anugerah oleh Allah ta’ala berupa jabatan juga mengalami
ujian dahsyat yang beresiko kematian. Di mana pun orang hebat berada, sangat
memancing kedengkian orang-orang yang memiliki hati sakit. Itulah yang terjadi
pada Yusuf saat saudara-saudara mereka justru malah melakukan konspirasi untuk
melakukan pembunuhan terhadap Yusuf. Walaupun konspirasi pembunuhan tersebut kemudian
berakhir dengan sebuah kesepakatan di antara mereka sendiri, bahwa Yusuf
dibuang saja ke sumur. Dibuang di sumur itu sendiri adalah suatu ujian dahsyat
beresiko kematian. Belum lagi ujian dahsyat yang dialami Yusuf saat beliau
difitnah oleh majikan perempuannya, yang mengantarkan Yusuf masuk penjara,
walaupun ia tidak bersalah. Kemuliaan diri hanya dapat diraih dengan perjuangan
tak mengenal lelah. Bertahun-tahun Nabi Yusuf mendekam di penjara. Hingga
datangnya mimpi Sang Raja yang hanya dapat ditakwilkan oleh Yusuf. Begitu Raja
mengetahui kelebihan Yusuf, maka Yusuf dipanggil dan dinobatkan sebagai salah
seorang menteri raja. Jangan pernah kita hanya melihat sisi jabatan tinggi
Yusuf saja. Namun juga harus melihat ujian dahsyat dalam masa-masa sejak kecil
hingga sesaat sebelum diberi jabatan tersebut.
Jika
orang-orang hebat tersebut mendapatkan perlakuan keji secara fisik, jangan
dikira bahwa mereka tidak mendapatkan pelemahan-pelemahan mental dan pembunuhan
karakter oleh kaumnya. Siapapun yang menelaah sejarah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, tentu dapat menyimpulkan bahwa Rasul
selalu mendapatkan pelemahan mental dan pembunuhan karakter melalui tuduhan
sebagai penyair, tukang sihir dan orang gila. Belum lagi sekian kabilah Arab
yang datang untuk berhaji, mereka sebelumnya telah diberi info detail tentang
kegilaan Muhammad. Sehingga mereka menyarankan agar menutup telinganya dari
kata-kata Muhammad. Namun dakwah ini terus melaju kencang, bergulir atas berkah
Allah, hingga masa-masa sulit mampu dilalui umat Islam dengan baik dan mulus.
Masa-masa sulit itu hanya dapat dilalui oleh orang-orang hebat yang siap dengan
ujian dahsyat.
Namun
yang perlu catat di sini adalah bahwa jika ujian fisik dan ujian mental bertemu
pada diri seseorang atau jamaah umat Islam, maka proses menuju kemenangan
semakin terbuka lebar. Proses menuju kemenangan tersebut menurut Ali Muhammad
Shalabi harus melalui beberapa tahap: (1) Era berdakwah; (2) Era memilih
SDM-SDM dakwah; (3) Era kontak fisik (mughalabah); dan (4) Era
pengokohan kekuasaan di muka bumi (tamkin).
Dan
umat Islam saat ini telah melampaui tiga masa itu, berdakwah, memilih SDM umat
dan kontak fisik, juga nonfisik. Tersisa satu yang masih belum, yaitu era tamkin,
yaitu era kemenangan yang dianugerahkan Allah ta’ala pada kita. Namun satu
syaratnya, “bersabar dengan sebenar-benar kesabaran” dalam menghadapi ujian
dahsyat dari Allah ta’ala tersebut. Ujian dahsyat
yang hanya dapat dilalui oleh orang-orang hebat. Wallahu a’lam
bishshawab.
Referensi:
Ibnu
al-Qayyim, Al-Fawa-id.
Ali
Muhammad Ash-Shalaby, Fiqhu at-Tamkiin fi al-Qur’aan al-Kariim (Al-Manshurah,
2001).