rohmans

Ber-imajinasi menurut Islam; bagaimana seharusnya?

Assalamu'alaikum warohmatullooh wabarokaatuh! ALAM IMAJINAL Dalam khazanah spiritualitas Islam (sufisme, irfan, isyraqiyah, atau...


Assalamu'alaikum warohmatullooh wabarokaatuh!


ALAM IMAJINAL
Dalam khazanah spiritualitas Islam (sufisme, irfan, isyraqiyah, atau hikmah), biasanya diterima adanya tiga tingkat pemikiran manusia. Tingkat rasional, logis, itulah yang pertama. Adapun yang kedua adalah yang bersifat spiritual, rohaniah. Yang ini terkait dengan perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Dan, di antara keduanya ada imajinasi.

Yang bersifat rasional-logis biasanya disampaikan lewat bahasa yang mengandalkan pada tata bahasa (grammar) yang teratur dan urut-urutan logis. Yang spiritual, kata sebagian orang-termasuk Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam-tak bisa diungkapkan secara rasional. Tetapi, beberapa sufi tertentu mencoba mengungkapkannya. Termasuk di dalamnya yang amat terkenal dan produktif dalam mengungkapkan perasaan-perasaan keagamaannya adalah Ibn ’Arabi.

Sekelompok filosof-mereka biasa disebut sebagai para iluminis (isyraqi) dan ahli hikmah, dengan Suhrawardi dan Mulla Shadra sebagai tokoh-tokohnya-justru percaya bahwa perasaan- perasaan keagamaan sebagai sumber kebenaran bukan hanya bisa, melainkan harus diungkapkan dengan bahasa-bahasa rasional yang logis itu, yakni agar perasaan-perasaan yang telah melewati-tepatnya dilewatkan kepada-rasio dan logika itu bisa dikontrol: apakah ia benar-benar berdasar pada realitas, ataukah sekadar khayalan yang tidak benar, tidak obyektif, bahkan mungkin sesat. Dengan diungkapkan secara rasional dan logis, perasaan-perasaan itu bisa diverifikasi. Mengingat, pertama, verifikasi hanya bisa dilakukan-selain berdasar prinsip korespondensi (eksperimental)-dengan berdasar prinsip koherensi (rasional-logis).

Kedua, sebuah pemikiran, yang diperoleh pada tingkatan apa pun, tak boleh bertentangan dengan perolehan lewat tingkatan-tingkatan pemikiran yang lainnya, baik yang bersifat imajinatif maupun rasional-logis. Ketiga, dengan memverifikasinya secara rasional-logis, maka sebuah hasil pemikiran telah dilempar ke “pasar bebas” dan dengan demikian bisa didiskusikan, diperdebatkan, dan disepakati nilainya.

Kembali kepada pemikiran imajinatif, wadah bagi realitas-realitas jenis ini disebut sebagai alam imitasi (’alam al-mitsal), tempat bagi simbol dan tipifikasi. Ia disebut juga alam barzakh-biasa diterjemahkan sebagai alam imajinal untuk membedakannya dari alam imajiner yang sudah telanjur berkonotasi negatif. Ya, alam barzakh. Suatu alam di antara dua alam: alam rohani dan alam dunia. Dia menyatakan alam kubur, alam imajinal, dan alam mimpi. Menurut pemikiran seperti ini, sesungguhnya ketiga-tiga alam itu menunjukkan realitas yang sama.

Secara agak filosofis, inilah deskripsi ketiga tingkatan itu: Alam Dunia bersifat wada’ (memiliki dimensi ruang-waktu) dan memiliki sifat keterbagian secara aritmatis. Dengan demikian, segala entitas di alam ini bisa disifati sebagai memiliki kebergandaan, 1, 2, 3, dan seterusnya. Pemikiran rasional-logis terkait dengan alam ini alam barzakh, meskipun masih memiliki sifat keterbagian-aritmatis dan untuk operasinya juga masih membutuhkan wada’ dari alam dunia, ia sendiri sudah tak bersifat wadak. Selain itu, alam perantara ini belum sampai ke alam roh, tetapi sudah meninggalkan alam dunia empiris-rasional. Seperti diungkapkan filosof eksistensialis Perancis yang ahli aliran wujudiyah dan iluminisme dalam Islam, Henry Corbin, alam barzakh atau alam imitasi ini adalah alam wada’ yang terspiritualisasikan, atau bisa juga ia dikatakan alam roh (spirit) yang ter wada’kan. Adapun alam rohani tak ber wada’, tak terbagi-bagi (simple atau basith).

Karena sifatnya yang sudah tak lagi me wada’, maka bukan saja kategori rasional-logis sudah tak sepenuhnya berlaku, gambaran-gambaran yang dipakainya pun tak harus sama dan sebanding dengan citra-citra (bendawi) alam dunia. Inilah yang menyebabkannya disebut khayalan. Metafor-metafor pun menjadi dominan di sini. Maka, jadilah ekspresi pemikiran imajinatif-sebagaimana tertuang dalam seni, termasuk sastra-tampak tak beraturan, tak runtut, dan menabrak kategori-kategori ruang dan waktu yang lazim dalam pemikiran rasional.

Orang-orang yang daya imajinasinya kuat, seperti para seniman (termasuk para pemikir tertentu, para spiritualis) bisa mengoperasikan daya khayalnya dalam keadaan jaga. Sedangkan yang daya imajinasinya tak terlalu kuat, mengalami dunia barzakh ini hanya ketika bermimpi-yang bukan sekadar bunga tidur, atau perasaan tertekan, atau sekadar luapan pengalaman dunia nyata-atau nanti di alam kubur. (Ibn ’Arabi, seorang hakim-teosof, kombinasi filosof dan sufi-menyatakan, kehidupan kita di alam kubur nanti adalah seperti di alam mimpi. Disiksa kubur adalah sama dengan mendapat mimpi buruk, nightmare. Dan sebaliknya.
Update: DAYA IMAJINASI
Apa itu daya imajinasi? Dalam khazanah filsafat Islam-peripatetik, yang mengandalkan prosedur rasional-logis di atas yang lainnya-daya imajinasi dipahami sebagai salah satu fakultas dalam jiwa manusia yang memiliki akses kepada alam imajinal. Ia adalah bagian dari indera dalam manusia yang, berbeda dengan pandangan spiritualitas Islam, ditempatkan di bawah pemikiran rasional.


Update 2: Bukan hanya dalam hal hierarki, para filosof Muslim percaya bahwa daya imajinasi harus ditempatkan di bawah kendali daya rasional. Jika dilepaskan dari daya rasional, daya imajinasi berisiko kehilangan kendali dan sekaligus kehilangan akses kepada realitas otentik yang ada di alam imajinal.


Update 3: Ya, karena dalam Islam, tak terkecuali dalam filsafat Islam, puisi-atau karya sastra pada umumnya-yang banyak mengandalkan daya ini, memiliki misi etis. Apalagi karena sifatnya yang imajinatif, puisi-atau karya sastra dan seni pada umumnya-memiliki kemampuan menggerakkan lebih banyak orang ketimbang kebenaran rasional yang umumnya memiliki appeal hanya kepada lebih sedikit orang. Maka, sifat etisnya harus bisa dijamin. Jika tidak, risikonya untuk menimbulkan kerugian menjadi lebih besar.


Update 4: Dalam filsafat Islam, daya rasional mencakup dua ranah, yang berhubungan satu sama lain. Ranah teoretis dan ranah etis. Ranah teoretis melihat ke atas untuk mencerap natur-natur, kuiditas-kuiditas (”keapaan-keapaan”), atau esensi-esensi segala sesuatu, yakni aspek-aspek universal alam semesta, yang simpel dan kekal. Ranah daya rasional praktis, sebaliknya, melihat ke bawah demi memampukan pemiliknya untuk mengelola urusan-urusan duniawi secara etis.


Update 5: Betapapun, daya rasional praktis bekerja berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dicerap oleh daya rasional teoretis, apakah itu gagasan tentang keadilan, keseimbangan, moderasi, kebaikan, kebenaran, dan sebagainya. Pada gilirannya, daya rasional teoretis, yang juga beroperasi berdasar pengalaman dan kebiasaan, bekerja berdasar daya rasional etis. Ya, ilham puitik-menurut para filosof ini-mesti dikendalikan oleh daya rasio, tetapi pada saat yang sama ia juga mesti dipandu oleh misi etis.


Update 6: Meskipun demikian, hal ini tak berarti bahwa sifat sastrawi atau puitik dari sebuah karya boleh diperkosa karena misi etis ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Sina dan Ibn Rushd, misi etis ini harus dipandang sebagai lebih merupakan akibat ketimbang unsur esensialnya.

Pernyataan terakhir ini kiranya mendekatkan posisi filsafat Islam dengan sufisme. Mengingat bahwa sufisme justru cenderung melihat bahasa (yang terstruktur secara logis) cenderung lumpuh ketika berhadapan dengan kedahsyatan-kedahsyatan pengalaman keagamaan.

Update 7: Seperti akan kita dapati dalam pembahasan setelah ini, umumnya kaum Sufi percaya bahwa ilham-ilham mistikal mereka-demikian pula puisi-puisi mereka, yang sesungguhnya tak lebih dari wadah bagi pengalaman-pengalaman mistikal itu-berasal dari dunia yang lebih tinggi, alam rohani.

Maka, membiarkan pemikiran rasional-logis menghakimi pemikiran rohaniah yang lebih tinggi tingkatannya adalah sesuatu yang tak bisa diterima. Adalah isyraqiyah dan hikmah yang, seperti telah disinggung di atas, kemudian menyintesiskannya dengan memberikan wewenang kepada daya rasional-logis untuk memverikasi pengalaman-pengalaman keagamaan ini.

Update 8: 
Kenyataannya, seniman bekerja berdasarkan pasokan bahan dari dunia imajinasi ini. Nah, dipercayai bahwa ilham yang dibiarkan begitu saja tanpa di-”kontrol” oleh pemikiran rasional-atau perasaan-perasaan spiritual-inilah yang dapat mengambil bentuk ungkapan yang aneh-aneh dan sering tidak nyambung dengan pemikiran rasional.


Update 9: 
Hampir-hampir seperti meracau alias ngomyang alias mengigau -bisa mengandung realitas (kebenaran), bisa juga benar-benar ngomyang, dalam arti merupakan penyelewengan dalam mekanisme beroperasinya pemikiran. (Dalam khazanah pemikiran Islam, dipercayai bahwa sumber ilham yang benar adalah dari malaikat, sedangkan yang tak otentik-secara populer disebut waham-adalah “setan” atau suatu dunia khayalan yang terbentuk karena penyelewengan dalam operasi berpikir/berkhayal. Sebab, seperti disebutkan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, adalah terutama dalam keadaan tidur imajinasi terbebaskan dari pembatasan-pembatasan oleh daya rasional.


Update 10: Dalam keadaan jaga, penyakit, rasa takut, kegilaan, dan sebagainya juga dapat membebaskan daya khayal dari pembatasan-pembatasan oleh daya rasional. Sebelum ada yang terkejut, perlu saya sampaikan bahwa agama mengajarkan: siapa saja di antara kita, kapan saja-dan itu berarti bukan hanya penyair, dan tak mesti berhubungan dengan persoalan pencarian kebenaran seperti ini-selalu berisiko berada dalam pengaruh setan ini.


Update 11: 
Bisa jadi juga, ketaklogisan-yang terkadang bisa amat liar dan jauh lebih susah dipahami-adalah karena wadah orang yang menerima ilham itu tak cukup besar untuk menampungnya. Dengan demikian, ilham itu meluap-luap ke sana kemari tanpa terkontrol. Dalam sufisme, hal ini mengambil bentuk syathahat atau ujaran-ujaran ekskatik, yang muncul tiba-tiba dalam keadaan subyeknya mengalami ekstasi atau trance secara spiritual.


Update 12: Demikian sekitar ber-imajinasi secara umum yang perlu juga untuk diketahui oleh para muslim, khususnya bagi saudara/i yang cenderung tertarik dengan bahasan2 sekitar masalah tasawuf.

Semoga bermanfaat.
diambil dari berbagi sumber

Related

Semua 4914447874628707919

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item