BAGAIMANA SEBENARNYA PEMIMPIN WANITA..?
Mayoritas pemikir politik Islam, seperti Al Imam al-Mawardi Rahimahulloh dalam kitabnya, “ Al- Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan ...
https://rohman-utm.blogspot.com/2017/07/bagaimana-sebenarnya-pemimpin-wanita.html
Mayoritas pemikir politik Islam, seperti Al Imam al-Mawardi Rahimahulloh
dalam kitabnya, “Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan
bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu
Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun
syara’. Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau
daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab,
jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah
terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan
persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’,
kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau
melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.
.
ISLAM & KEKUASAAN
Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal
kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang
ditetapkan oleh Islam.
Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan
politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita
ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar.
Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk
tingkah laku dalam berpolitik.
.
BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI
DALAM ISLAM ???
Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
- Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar
maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh,
pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat,
tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS. Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami
berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf:
109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan
beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. “
(QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita
(berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali)
- Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin
Wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS.
An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi
secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi
seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak
kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak
wanita.” (QS.
Ali Imran: 36)
- Hadits :
شرح السنة للبغوي (10/
76)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ،
قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ
أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً».
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada
Rasulullah bahwa orang-orang Persia mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau
bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.” (HR.
Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal,
meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah
anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan
menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini,
menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal
pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para
ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam
menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan,
persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak
berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab,
bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun
terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya
semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi
pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam
urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan
kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah
tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam
permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah
secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam
ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan
seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk
menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang
jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal
dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’,
yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
PERTANYAAN YANG TIMBUL …
1. Bagaimana dengan pemerintahan
Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis?
– Ratu Balqis
menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin
dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi
istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi
Balqis.
2. Apakah Islam melakukan
diskriminasi terhadap perempuan ?
Islam tidak
melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar
total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan
terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat di berbagai
kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit
dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan
anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang benar. Akan tetapi para suami memiliki satu tingkatan
kelebihan dari pada istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas
kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm rumah
suaminya dan diapun bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat
Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun
mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas
memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah
Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi
seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang
pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu Asy-syifa’
Al-Anshariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah.
Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
– Ini terbalik,
Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin
suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan si pemimpin yang
sebelumnya adalah wanita ?
– Tetap saja pada
waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah
laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
– Bila sudah tidak
ada lagi laki-laki Islam yang mampu jadi pemimpin !
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, tanpa berniat untuk suatu
kepentingan politik atau mendiskriditkan jenis kelamin, bahwa mayoritas ulama
telah melarang perempuan jadi pemimpin/ulil amri public, baik sebagai bupati,
gubernur, bahkan presiden dan bahkan pula pemimpin dalam Sholat. Yang
diperbolehkan dalam hal rumah tangga atau urusan yang harus ditangani
perempuan. Jika hukum perempuan jadi pemimpin public, ternyata ulama lebih
banyak melarangnya, maka begitu juga memilih pemimpin perempuan juga ulama
melarangnya. Jadi jangan jadikan perempuan menjadi pemimpin apapun itu
alasannya. Dan Haram pula Umat Islam memilih Pemimpin Orang Kafir diambil
dari berbagai sumber