Pendahuluan
Corak
pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi oleh pengalaman-pengalaman
Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada masanya dan latar belakang keilmuannya
yang mendunia. Hal yang menonjol dari sosok al-Ghazali adalah kepakarnnya dalam
tasawwuf dan peningkatan spiritualitas. Di zaman al-Ghazali, praktik-praktik
politik banyak yang menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah
gunaan kekuasaan dan krisi ulama’. Kritik tajam Imam al-Ghazali pada ulama’ pada
waktu itu adalah adanya ulama’-ulama’ yang terikat oleh ambisi duniawi. Ulama
yang berfungsi sebagai penasihat penguasa tidak menjalankan misinya dengan
baik.[1] Kritik-kritik
tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr
al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih
al-Batiniyah.
Kitab Al-Tibr
al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik
beliau yang berisi nasihat-nasihat untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan
tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti
Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at.
Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka, menurut
beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Dalam hal ini pandangannya tidak
banyak berbeda dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. ”Keteraturan agama tidak bisa
dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin negara) yang ditaati”, kata
al-Ghazali[2].
Oleh karena itu, seorang sultan beserta perangkat-perangkat politiknya harus
menjalankan tugas sesuai dengan adab berpolitik. Jika seorang sultan yang
menjaga adab berpolitik, menurut al-Ghazali, maka sebenenarnya politik, dalam
hal ini adalah tugas mulia. Jika penguasa dan pejabat negara berbuat dzalim,
hendaknya dijauhi[3].
Kegelisahan
Imam al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa Buwyhids waktu itu, menyimpulkan
dalam pikirannya, bahwa krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ulama.
Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan:
Sesungguhnya, kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan
oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan
kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu
mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal[4].
Di
samping krisis ulama’ dan penguasa, pada masa al-Ghazali sempat berkuasa
pemimpin yang beraliran menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah. Pada masa
kekuasaan Buwaihiyah, tidak saja mereka beraliran Syi’ah, akan tetapi mereka
juga bersikap oposan terhadap kekhalifahan Abbasiyah dan melakukan tindakan
korupsi dan politik kotor. Mereka jelas tidak mengakui kekhalifahan Abbasiyah
yang Sunni. Ironisnya, beberapa khalifah Abbasiyah seperti al-Mustakfi
(333-334), al-Muti’ (334-363), al-Ta’i (363-381) menggantungkan pada hegemoni
Buwaihiyah[5].
Kondisi
ini mendorong al-Ghazali menulis kitab Fadaih Batiniyyah yang
sarat kritik terhadap doktrin Syi’ah batiniah dan konsep Imamah Syiah. Pada bab
tujuh kitab Fadaih Batiniyyah Imam al-Ghazali menuangkan
kritik-kritiknya tentan kebatalan konsep Imamah dan membongkar kelemahan
argumen mereka yang mendasarkan konsepnya dengan nas-nash al-Qur’an[6].
Dari
karya-karya beliau dalam Ihya Ulumuddin, Al-Tibr al-Masbuk
fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddi, dan Fadaih Batiniyyah kita
bisa menangkap bahwa sosok al-Ghazali adalah ilmuan yang menerapkan
integralitas ilmu, sehingga sebagai seorang yang pernah masuk ranah politik
juga menerapkan integralitas antara ulama-umara, dan agama-politik. Corak
pemikirannya yang anti-dikotomis ini menarik untuk direlevankan pada dunia
politik saat ini yang pada satu sisi menghadapi krisis moral.
Latar Belakang Sosio-Historis Imam
al-Ghazali
Imam
al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Nama aslinya Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran
nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada
daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi
dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang
keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin
Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ
Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang
yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali)[7].
Sebagian
lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian
keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian
pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al
Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari
penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada
penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari
keberadaannya.”[8] Ada
yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak
perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Al-Ghazali muda hidup dan berkembang di
lingkungan yang sangat kondusif bagi peningkatan keintelektualnya. Ayahnya,
meskipun bukan orang ‘alim akan tetapi Muhammad Ath Thusi, ayah beliau, adalah
orang yang sangat mencintai ilmu dan ulama’, ayahnya sering mengunjungi
majelis-majelis ilmu di negerinya. Ayahnya adalah seorang penenun wol yang
meski dengan penghasilan yang biasa ia suka mendermakan sebagaian
hartanya untuk kegiatan-kegiatan keilmuan[9].
Tradisi ayahnya inilah yang membentuk karakter Imam al-Ghazali dalam kelananya
mencari ilmu.
Pergulatan
al-Ghazali dalam dunia keilmuan dimulai pada saat usianya masih 15 tahun. Di
usianya yang masih remaja ia menunjukkan tekadnya untuk memburu ilmu kepada
Syekh Abu Nasr al-Ismaili – yang berada di negeri Jurjan. Usai berguru kepada
Abu Nasr al-Ismaili selanjutnya ia meneruskan pengembaraan ilmunya kepada
al-Juwaini di Madrasah Nisabur.
Di
Madrasah inilah, bakat keilmuan yang luar biasa dimulai. Ia belajar dan
berdialektika dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang saat itu. Bahkan
dengan bekal ilmu fikih, teologi, tafsir, hadis, ushul fikih, logika dan
perangkat ilmu yang lain ia sudah berijtihad – dan sesekali melakukan
perdebatan. Diusia yang baru menginjak tiga puluhan, al-Ghazali mampu menjawab
dan mengkritik tantangan-tangan pemikiran logika dan filsafat Yunani dan
mematahkan pendapat-pendapat lawan-lawannya.[10]
Sepeninggal
gurunya al-Juwaini, al-Ghazali berkelana lagi bergelut dengan dunia keilmuan.
Ia perkgi ke daerah Muaskar dan bertemu dengan Nizam al-Mulk. Nizam yang
menjadi wazir di Daulah Abbasiyah menyamput baik dan menempatkan al-Ghazali
sebagai guru besari di Madrasah Nizamiyah –Baghdad yang telah berdiri sejak
1065. [11] Jabatan
sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah ini menjadi awal bagi al-Ghazali
untuk menjadi ilmuan Islam yang terkenal di negeri Irak. Bahkan ia disini ia
mengkader seiktar 300-an siswa yang akan menjadi ulama. Bahkan, kemasyhurannya
hampir mengalahkan popularitas penguasa Abbasiyah[12].
Di madrasah ini al-Ghazali banyak bergelut dengan dunia pemikiran, ia
mempelajari filsafat baik filsafat Yunani maupun dari filsafat Islam. Ia
menulis buku Maqashid al-Falasifah dan Tahafut
Falasifah.[13]
Salah
satu yang menarik pada masa ini adalah, hubungan pemerintah yang mendukung
dalam jalan dakwah al-Ghazali. Pada masa Khalifah al-Mustazhir billah, pihak
pemerintah sangat peduli dengan perkembangan pemikiran Islam saat itu.
Pemikiran yang keluar dari garis Sunni, berusaha ditolak. Pada saat itu
berkembang madzhab Syi’ah Batiniyah. Melihat pergerakan yang mereka yang tidak
baik akhirnya, Imam Ghazali didukung penuh untuk mengkounter pemikiran –
pemikiran Batiniyah. Buku Fadaih al-Batiniyah wa Fada’il
Mustazhiriyyah yang ditulis oleh Ghazali khusus untuk mengkounter
madzhab Syi’ah didukung, bahkan diberi biaya untuk menuntaskan penulisan buku
tersebut.[14]
Latar Belakang Perpolitikan Semasa
al-Ghazali
Sebelum
al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) lahir peta perpolitikan terpecah dalam
beberapa faksi yang berakar dari perbedaan madzhab kalam. Dalam wilayah Daulah
Abbasiyah (132-656 H) berkembang aliran Mur’jiah, Syiah dan Ahlussunnah.
Kelompok besar yang berkonflik adalah Syiah dan Ahlussunnah. Di samping itu
kekuasaan Daulah Umaiyah di Andalusia masih terdapat sisa-sisa yang
terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Sedangkan di Mesir, berkuasa
Daulah yang dipimpin kelompok Syiah Isma’iliyah.[15]
Ketika
kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti Buwaihi (333-447) di bawah
Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai kekuasaan Abbasiah. Dinasti
Buwihi masuk perpolitikan Abbasiyah. Mereka mendirikan institusi Sultan, yang
sebelumnya tidak ada dalam Abbasiyah. Institusi Sultan berhasil memperdayai
Khalifah di tubuh Daulah Abbasiyah. Peran Khalifah seakan tidak berdaya, yang
berkuasa penuh adalah Sultan – dari orang Buwaihi yang berpaham Syi’ah. Bahkan
Khalifah Al-Fadal tidak memiliki kekuatan apapun, ia bahkan samapi dikurung
oleh orang-orang Buwaihi. Khalifah pada masa itu seperti sekedar menjadi boneka
orang-orang Buwaihi.[16]
Akhirnya, kekhalifahan dikuasai oleh
Dinasti Buwaihi selama 110 tahun. Di samping melakukan
penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam, yang juga memprihatinkan adalah
kalangan pejabat pemerintah banyak melakukan korupsi[17].
Di bawah penguasaan pejabat Buwaihi spiritual umat mengalamai kemerosotan. Di
antara ulama juga banyak terjangkit penyakit-penyakit hati.
Bahkan
Buwaihi bercita-cita mengubah kerajaan Abbasiah menjadi kerajaan Syi’ah
Zaidiyah, bahkan salah seorang sultannya, Abu Kalijar mengungumkan bahwa
Abbasiah berafiliasi ke Dinasti Fatimi Mesir yang berpaham Syi’ah Ismailiyah[18].
Namun pada tahun 1055 dinasti Seljuk yang Sunni berhasil menguasai Baghdad.
Dinasti Buwaihid pun menjadi lemah. Meskipun otoritas politik Daulah Saljuk
dipegang oleh sulatan yang dilimpahkan kepada wazir bukan Khalifah, namun yang
menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian sulatan dalam peningkatan keilmuan
warganegara dan memperbaiki pemikiran umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan
mendirikan madrasah Nizamiyah yang salah satunya menyebarkan paham Sunni.[19] Bahkan
menurut al-Subki, Nizam al-Muluk mendirikan 9 madrasah selain madrasah
Nizamiyah.
Dinasti
Seljuk pun menguasai hampir seluruh negeri, meski di bebarapa wilayah Buwaihi
memiliki kekuasaan. Di bawah Tughrul Beg, kekacauan masyarakat dan pejabat
negera diakhiri dan mendirikan perubahan penting terutama dalam peningkatan
pengetahuan masyarakat. Yang utama adalah mereka berjasa mendirikan perguruan
Nizamiyah.[20] Di
perguruan Nizamiyah inilah karir keilmuan al-Ghazali memuncak, setelah dingkat
Khalifah sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah.
Kepedulian
Sultan Saljuk terhadap ilmu ternyata membawa angin positif bagi masa depan
perpolitikan Nizam al-Muluk. Beberapa kerajaan bergabung diantaranya, Gaznawi
India, kerajaan di Sudan. Dan pada saat yang sama dengan sendirinya pengaruh
Syiah merosot hingga ke negeri mesir. Hal inilah yang menyebabkan Dinasti
Fatimi Mesir merosot drastis menuju keruntuhan. Fatimiyah diliputi krisis
multidimensional, mulai ekonomi, politik, dan sosial. Masa ini merupakan era
kejayaan Sunni dan kemerosotan Syiah. Di samping dinasti Fatimi, di selatan
kerajaan Ismili Yaman yang berkuasa mulai tahun 438-569 H di bawah Bani Sulaihi
pun juga menyusut.[21]
Seluruh
komunitas Sunni di hampir seluruh negeri menolak kehadiran syiah batiniyah,
yang disamping menyimpang, mereka juga menunjukkan gerakan militan radikal.
Atas dasar inilah Nizam Muluk melarang aliran batiniyah berkembang di wilayah
negerinya. Di sini imam Ghazali memainkan peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia
menulis buku Fadaih al-Batiniyah yang mengkritik pemikiran
syiah batiniyah.
Gerakan
politik Syiah di Irak bukan berarti mati, ketika kerajaan-kerajaan Syi’ah mulai
menyusut, militan syiah bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1092 mereka bahkan
tiba-tiba mulai tunjukkan kekuatan yang dipimpin oleh Hasan Ibn al-Sabbah.
Bahkan secara mengjutkan, syiah batiniyah membantai Nizam Muluk.
Pasca
wafatnya Nizam al-Muluk inilah kebesaran Abbasiah mulai turun pada tahun 485 H.
Hal ini membawa dampak buruk bagi kehidupan perpolitikan dan keilmuan di negeri
Irak. Kejatuhan khalifah berdampak pada kembalinya budaya korupsi di kalangan
pejabat, munculnya ulama’ suu’ (jahat) dan pertikaian dengan kelompok sempalan.[22] Situasi
seperti ini yang menjadi tantangan besar bagi Imam al-Ghazali. Ia mempunyai dua
tugas besar yang harus diemban, pertama, memperbaiki pemahaman ilmu masyarakat
dan kedua ia memiliki kewajiban politik untuk mengingatkan pejabat, sebagaimana
yang sudah ia lakukan pada pejabat-pejabat dinasti Saljuk.
Pengalaman-pengalaman
dalam situasi sosial politik seperti tersebut di atas ditambah dengan corak
keilmuan Imam al-Ghazali inilah yang membentuk karakter pemikiran al-Ghazali
tentang politik Islam. Al-Ghazali telah menunjukkan sebagai ulama yang memiliki
pemikiran cemerlang yang disegani dan diteriman oleh para pejabat negara serta
para ulama lainnya. Penulis menilai corak pemikiran politiknya sangat benuansa
etika dan adab politik. Pemikiran yang cukup menarik adalah dalam teorinya
bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang mempertimbangkan
moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin yang mempunyai integritas
tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang memenuhi beberapa kriteria yang
al-Ghazali idealkan[23].
Pemikiran seperti ini sangat relevan untuk dijadikan referensi bagi para
pejabat saat ini.
Etika Kuasa Menurut al-Ghazali
a. Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam
Perpolitikan
Pikiran-pikiran utama al-Ghazali tentang
politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn
Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kumpulan nasehat ini ditujukan kepada Sultan
Muhammad Ibnu Malik Syah dari dinasti Seljuk.
Sebagai
ilmuan yang memiliki pemikiran dan jiwa yang tajam, al-Ghazali berusaha
menempatkan diri sebagai agen perubahan dalam perbaikan pemerintahan. Yang
menarik, beliau tidak terjun langsung di dalam praktisi pemerintahan, namun ia
berposisi sebagai ulama yang berkewajiban amar ma’ruf nahi munkar kepada umara,
bukan sebagai oposisi akan tetapi sebagai mitra menyebarkan ma’ruf dan menjegah
yang munkar. Karena al-Ghazali melihat, dinasti saljuk – di luar sisi-sisi
negatifnya seperti penyalahgunaan wewenang dan ketidaksiplinan moral – sultan
masih sangat memperhatikan perkembangan pendidikan dan keilmuan warga negara
dan pada taraf perbenturan teologis, sultan bertempat pada posisi yang tepat.[24] Oleh
karena itu, al-Ghazali melihat pemerintahan masih dapat dipertahankan dan
diperbaiki. Itulah sebabnya ia menulis surat-surat yang berisi nasihat.
Dengan
mengkaji pemikirannya dalam al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk al-Ghazali
hendak melakukan reformasi moral terhadap pemerintahan. Reformasi moral
ini bagi al-Ghazali menjadi kewajiban bagi ’alim dan cendekiawan ahli syari’ah.
Ia mengatakan:
Seorang faqih adalah orang yang
menguasai aturan-aturan politik Islam dan mengetahui cara sebagai mediator diantara
manusia (pejabat negara) jika berselisih dengan hukum yang tidak benar. Maka
seorang fakih hendaknya menjadi guru dan membimbing sultan.[25]
Kandungan
utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin
besar. Pembahasan pertama, al-Ghazali memprioritaskan pada kekuatan akidah
tauhid, yang kedua berisi naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan
ulama. Dua pembahasan utama tersebut lahir dari pemikiran al-Ghazali
kemungkinan karena desakan situasi sosial, keagamaan dan politis saat itu. Atas
dasar itu, al-Ghazali merasa memiliki kewajiban untuk memperbaiki ilmu
masyarakat dan pejabat negara.
Kegelisahan yang membuat al-Ghazali
memeras pikiran adalah fenomena Syiah Batiniyah[26] yang
pelan-pelan merebak. Meskipun Sultan dan Khalifah tidak terpengaruh oleh ideologi
Batiniyah – akan tetapi al-Ghazali merasa nasihat-nasihat tentang tauhid sangat
perlu bagi pejabat negara dalam situasi seperti itu.
Dalam
awal naskah nasihatnya, al-Ghazali memulai dengan kaidah-kadiah Iman. Dalam bab
ini, disamping menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar,
al-Ghazali ingin mengingatkan sultan bahwa kekuasaan tertinggi di dunia ini
adalah al-Khalik (Allah SWT). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit
al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah
SWT. Allah memberi amanah kepada sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan
syariat-Nya. Dalam sub-sub babnya, al-Ghazali menulis tentang Keesan-Nya, tiada
satu pun yang menyamai-Nya, sifat-sifat Allah, mengingatkan tentang akhirat, dan
tugas Nabi Muhammad.[27]
Pembahasan
tersebut adalah pembahasan utama dalam rangka menjaga basicfaith para
pejabat negara agar stabil loyal dalam pandangan hidup Islam. Disamping itu,
untuk mempertahankan basicfaith warga negara saat itu
al-Ghazali melakukannya dengan mengkritik dan menjawab syubhat-syubhat Syi’ah.
Hal itu diwujudkan dengan menulis kitab al-Fadaih al-Batiniyyah. Al-Ghazali
merupakan pemikir aktif. Di satu sisi ia memberi penguatan iman baik kepada
pejabat negara maupun kepada masyarakat dengan mengajar ilmu di madrasah
Nizamiyah juga melakukan kritik terdapat pemikiran yang menyimpang. Penguatan
dan kritik (istbat wa nafyu ) ini merupakan dua kewajiban yang
memang mestinya berjalan sinergis.
Nasihat
tauhid ini penting karena, demi melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak
terpengaruh denga pemikiran Syi’ah Batiniyah sekaligus juga membentengi rakyat
dari pemikiran menyimpang tersebut. Sebab, Batiniyah terkenal sebagai kelompok
sempalan yang radikal. Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah
aliran-aliran pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan
Bathiniyah merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi
oleh seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah Asy’ariah,
Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah. Dan bahkan dari kalangan Syi’ah
sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah Imamiyah (Itsna ’asyariah),
atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki
kedekatan dengan Ahli Sunnah.[28]
Oleh
karena itu al-Ghazali menentang setiap klaim-klaim golongan Batiniyah baik
klaim teologis maupun politis. Klaim teologis Batiniyah sangat jelas bertolak
belakang dengan keyakinan mayoritas umat Islam. Mereka meyakini bahwa semua
teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali mengandung makna lahir dan batin.[29]Batiniyah
sebenarnya adalah kelompok yang bertopengkan Islam. berasumsi bahwa teks-teks
agama mengandung makna lahir dan batin.[30] Klaim
politis – yang sebenarnya juga berkait dengan telogi Syi’ah yang mengatakan
bahwa keimamahan itu diwariskan yang harus dipegang oleh para Imam keturuunan
Ali r.a. Jika imam telah meninggal dunia maka, yang menggantikan adalah wakil
imam.
Selain itu, pemikiran Batiniyah lain
yang ditentang mayoritas ulama adalah bahwa mereka percaya al-Qur’an memiliki
arti tersembunyi yang berbeda dari arti zahirnya. Menurut mereka, yang
mengetahui kebenaran dan mengkoreksi pemahaman al-Qur’an baik yang eksplisit
maupun implisit. Memahami al-Qur’an seperti itu diperoleh melalui ta’lim
(pengajaran oleh yang memiliki otoritas yaitu Imam, wakil imam atau orang yang
diberikan oleh Imam).[31]
b. Politik Beradab dan Kewajiban
Khalifah
Nasihat-nasihat
al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik sultan Seljuk.
Terutama sekali meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Nizam al-Muluk menyatakan
bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut sultan tujuan utama gerakan
mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirna Islam Sunni.[32]
Selanjutnya
di pembahasan berikutnya, al-Ghazali memulai dengan adab dan etika seorang
pemimpin. Yang pertama-tama harus dipahami, menurut al-Ghazali adalah
mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika
tidak amanah.
Al-Wilayah adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT
jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka apabila seseorang diberi
kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak mengetahui hakikat nikmat
tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim dengan kukuasaannya serta
mengikuti hawa nafsunya, maka pemimpin yang demikian, menurut al-Ghazali telah
menempatkan posisinya sebagai musuh Allah.[33]
Jika
seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah SWT sebagaiman
tersebut di atas, maka inilah titik bahayanya seorang pemimpin. Sebagaimana
peringatan Rasulullah SAW bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan tiga
perkara, pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang
khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka
maka berbuatlah adil, ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak
menyalahi janji)[34].
Imam al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa jika tiga perkara tersebut
ditinggalkan maka bahaya negara akan mengancam.
Untuk
menghindari hal tersbut, al-Ghazali mengingatkan seorang sultan atau khalifah
tidak boleh meninggalkan Ulama. Namun, seorang sultan juga harus cermat, tidak
sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru
menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara
tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya seorang
ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak mengharapkan balasan uang
dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat murni ikhlas karena meminginginkan
perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.[35]
Imam
al-Ghazali tampak tidak ingin memisahkan negara dan urusan agama. Dari
usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal
adalah negara yang orang-orangnya memiliki basicfaith Islam
yang kuat, sehingga negara diurus dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali
menuai hasil yang bagus, kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan
pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak
kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah
seorang pemimpin itu memiliki basicfaith yang kokoh,
mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting adalah, menghindari
sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya setiap pejabat pasti
dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang pemimping adalah penyakit
hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong pada perbuatan saling
bermusuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah[36].
Untuk
itulah, seorang raja harus rela berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju
kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali
bahkan berfatwa bahwa mendatangi rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya
adalah lebih baik daripada menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka rakyat
kecil adalah lemah, maka harus deperlakukan denga lembut dan penuh kasih. Ia
juga mengingatkan sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya
dengan meninggalkan syariat[37].
Ada
dua penting yang ditekankan oleh al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya. Yaitu
penguatan akidah dan adab. Dua hal ini tampaknya bagi al-Ghazali merupakan
faktor utama menjadi hamba Allah SWT sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang
ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah al-tasawwur
al-Islamiy (pandangan hidup Islam). Karena al-tasawwur
al-Islamiy adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk
aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya
dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat
direduksi kedalam pandangan hidup.[38] Maka
seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua
kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan
adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah
orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha
Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang
lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam
dirinya menuju kesempurnaan manusia.[39] Pemikiran
tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai al-Ghazali pada masa
itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi moral. Maka perbaikannya pun
dengan menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah
Batiniyah.
Kesimpulannya,
al-Ghazali dalam teori kenegaraannya mengutamakan perpaduan moral dengan
kekuasaan. Negara dan pemerintahan dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi
harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara
universal, kebahagian dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara
tidak bisa dipisahkan, agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah
penjaga.
Urgensi Negara Menurut al-Ghazali
Sebagaimana
para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali berpendapat bahwa wujud sebuah
pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika tidak ada pemerintahan yang memegang
otoritas publik, maka hal tersebut menyebabkan kekacauan, permusuhan,
pertumpahan darah, kemiskinan, dan tidak stabilnya ekonomi masyarakat[40].
Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada dikotomi antara agama dan
negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat signifikan dalam mewujudkan
masyarakat dan perdamaian.
Ketertiban
merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan kehidupan beragama. Dan kestabilan
kehidupan beragama sangat penting untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat.
Negara adalah suatu prasyarat penting bagi berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT
untuk ditegakkan di muka bumi. Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak
dapat diwujudkan dengan baik.
Bagi
al-Ghazali, politik juga tidak hanya bertujuan untuk menghindarkan pergolakan
sosial melalui pemberlakukan hukum dan ketertiban dan manajemen publik oleh
agen negara, tetapi juga bertujuan untuk menghindarkan pergolakan sosial
melalui bimbingan dan kepemimpiann yang diberikan oleh penguasa dengan
pelayanan menarik[41].
Oleh
karena itu, al-wilayah (kepemimpinan) adalah profesi yang ditipkan oleh Allah
SWT yang dibutuhkan oleh warga negara. Karean begitu pentingnya profesi ini,
al-Ghazali berpendapat bahwa, seorang pemimpin harus memiliki kompetensi yang
cakap[42].
Mengenai
pemimpin ideal, pendapat al-Ghazali hampir sama dengan al-Mawardi tentang
kriteria pemimpin yang ideal. Yakni seorang yang mampu berbuat adil di antara
masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas,
dan tidak dzalim (tirani). Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki
integritas, penguasaan dalam bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam
menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya
(mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan
tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu
tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan intelektual
untuk mengatur kemaslahatan rakyat.[43] Selain
itu, bagi al-Ghazali tujuan pendirian kekhalifahan adalah untuk dalam rangka
memenuhi kebahagian akhirat manusia. Dalam hal ini al-Ghazali cenderung
perpadangan jauh ke depan[44].
Namun, jika seorang sultan itu dzalim dan sudah membahayakan agama, maka harus
dilihat lagi keabsahan kekuasaannya. Baik itu diberhentikan atau harus berhenti
sendiri.[45]
Ia
menerangkan bahwa, selama sultan itu masih menerpakan hukum Islam, hanya saja
etika politiknya kurang baik maka sultan harus diingatkan – dan belum perlu
untuk diberhentikan, apalagi jika pemberhentian itu akan melahirkan kekacauan.
Sedapat mungkin rakyat memperkecil hubungan dengannya dalam arti memboikot
sampai ia kembali baik.
Negara,
berkewajiban menyediakan bantuan kepada rakyat untuk memasksimalkan kehidupan
di bumi dengan penuh tanggung jawab. Kondisi jiwa dan fisik harus dilindungi
dengan bijaksana, dengan bantuan ulama menjaga kestabilan sosial spiritual
berdasarkan keimanan. Kehidupan dunia adalah sementara, maka manusia perlu
dipersiapkan secara matang untuk menuju kehidupan yang hakiki. Karena
kebahagiaan sejati itu hanya didapat ketika di akhirat (surga) kelak.[46]
Hal
tersebut menunjukkan secara jelas bahwa urusan agama dan dunia tidak dapat
dipisahkan. Korelasi ini oleh al-Ghazali dikuatkan dengan sebuah hadis Nabi SAW
bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang manusia dapat memanen hasilnya di
akhirat kelak. Sedangkan untuk menjaga kestabilan dunia diperlukan sebuah
sistem pemerintahan yang berdasarkan syari’ah. Negara adala penjaga bagi
terlaksananya hukum-hukum agama Islam[47].
Berarti, pemikiran politik yang ditawarkan bukanlah pemikiran pragmatis, karena
al-Ghazali konsisten bahwa pendirian negara tidak sekedar demi terlaksananya
kepentingan individu atau kelompok, akan tetapi ia menginginkan perbaikan semua
umat manusia di dunia. Ia tidak hanya mengarahkan pendidikan fisik dan
moralitas akan tetapi lebih jauh al-Ghazali semuanya itu menurut beliau adalah
dianggap sangat penting agar dapat selamat dan bahagia di akhirat.
Maka,
mengangkat pemimpin (imamah) adalah wajib. Beliau memberi argumentasi:
لايحصل
نظام الدين إلا بإمام مطاع، صاحب الشرع هو الإمام المطاع، ونظام الدين لا يحصل
إلابنظام الدنيا ونظام الدنيا لايحصل إلا بإمام مطاع، نظام الدين لايحصل إلا بإمام
مطاع[48]
Oleh
karena itu al-Ghazali berpendapat, peraturan syara’ tidak berjalan sempurna dan
efektif kecuali didukung oleh adanya pemerintahan yang Islami, menurut beliau nidzamu
al-dunya syartun li nidzami al-diin[49].
Argument-argumen al-Ghazali tentang pentingnya imamah dan Negara sekaligus
menjawab terhadap ide-ide sekularisme dan konsep imamah Syi’ah[50].
Pemisahan
iman dan dunia – yang berarti sekularisme – menurut al-Ghazali adalah
dikarenakan oleh kesalahan memahami konsep iman dan konsep imamah. Sesuai
dengan ciri khas pemikiriannya, al-Ghazali menjelaskan bahwa kehidupan dunia
dengan segala kesenangannya adalah sementara dan berlebihan hidup mewah dapat
merusak jiwa dan moral. Hidup adalah cukup untuk memenuhi kebutahan dasar
manusia. Orang yang memahami hal tersebut disebut orang beradab, dan orang
beradab adalah orang yang sebenar-benarny mu’min. Pendirian negara, bukanlah
sekedar memenuhi kebutuhan manusia di duni saja tapi juga untuk kepentingan di
akhirat. [51]
Untuk
itulah, imam al-Ghazali menekankan pentingnya penguasaan ilmu-ilmu yang benar.
Hal itu tidak bisa dicapai dengan efektif kecuali manusia dalam kondisi yang
memadai terpenuhi kebutuhan dasarnya, dapat perlindungan dan kondisi yang
damai.
Maka
pendirian sisitem dunia yang terorganisir akan lebih jelas jika dilengkapi
dengan sistem hukum dan aturan yang benar sehingga bisa memberi bimbingan tepat
bagai warga negara, yang berarti ikut menstabilkan spiritual rakyat. Menurut
al-Ghazali menjadi muslim yang baik bukanlah orang yang tidak menyisakan sama
sekali harta duniawi. Baginya, seorang zahid bukanlah orang yang tidak
mengharapkan kekayaan sama sekali, akan tetapi zahid adalah orang yang tidak
terobsesi dan hatinya tidak terlalu dikuasai oleh kekayaan, meskipun ia
ditakdirkan menjadi orang terkaya di dunia.
Semuanya
harus terlaksana dengan mengamalkan syari’ah. Pelaksanaa syariat sangat
membutuhkan penopang yaitu legitimasi negara. Dan agama meliputi aspek sosial,
ekonomi, politik dan budaya termasuk aspek moral dan spiritual kehidupan.
Sehingga dengan demikian agama dipandan sangat penting dan tidak bisa
dikesampingkan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan kekal di akhirat.[52]
Dengan
demikian emikian, pendirian negara dan mengangkat imam menurut al-Ghazali
tujuan utamanya adalah menghasilkan kebahagiaan hakiki – yakni kebahagiaan di
akhirat. Hal ini sebenarnya sejalan dengan misi kenabian. Negara dan politik
merupakan bagian penting terutama dalam tema sentralnya, baik di dunia maupun
di akhirat.
Merupakan
sebuah keharusan bahwa agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan
sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti akan hancur[53].
Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk diterapkan, maka
syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan. Pernyataan
al-Ghazali tersebut jelas menunjukkan bahwa sekularisme tidak mendapat tempat
di dalam Islam. Karena sekulerisme menceraikan antara agama dan politik. Yang
berarti mereduksi syariah untuk diterapkan dalam masyarakat Islam.
Penutup
Pemikiran-pemikiran
Imam al-Ghazali memiliki corak bahwa konsepsi etika politik al-Ghazali adalah
suatu teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur negara
yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai dasar negara.
Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politisi muslim adalah, al-Ghazali
mementingka ilmu dan adab yang benar dalam berpolitik. Dengan ilmu dan adab
yang benar, akan melahirkan pemerintahan yang baik, termasuk unsur-unsur yang
sangat penting seperti keadilan, transparansi dan integritas.
Usaha-usaha
perbaikan perpolitikan al-Ghazali dilakukan dengan konsep amar ma’ruf nahi
munkar. Tahapan usaha yang dilakukan adalah, peringatan, kemudian nasehat.
Al-Ghazali sangat komitmen terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan.
Baginya, seorang ulama atau ilmuan tidak semestinya melakukan reformasi
konstruktif di dalam arena politik. Karena ini merupakan bentuk dari amar
ma’ruf nahi munkar.
Dalam
memenuhi tugas tersebut, perbaikan harus dimulai dari diri lebih dulu, terutama
memperbaiki basicfaith – karena hal itu mempengaruhi model
perilaku manusia. Politik, moral, pemikiran dan tindakan harus benar-benar
memiliki keterkaitan antara satu dan yang lainnya dalam sistem yang integratif.
Ilmu
dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan politik adalah model
perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat negara tidak saja menguasai
teori-teori politik akan tetapi mereka juga harus faqih. Yang
ditekankan adalah tidak saja seorang politikus itu paham ilmu-ilmu fardlu
kifayah akan tetapi ia juga harus menguasai ilm-ilmu fardlu ’ain.[54]
Poin
penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran politik al-Ghazali adalah
seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti membina hubungan baik dengan
ulama. Karena dari mereka akan diperolah kebaikan-kebaikan. Ulama tidak boleh
ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama,
juga harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama
nasihat-nasihat akidah dan moral.
Daftar Pustaka
Abu Hamid Muhammad bin Muhamma al-Thusi
al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad,(Beirut: Dar al-Qutaibah,
2003)
_______Ihya’ Ulumuddin,(Beirut:
Dar Kutub al-Ilmiyah)
_______ _Fadaih al-Batiniyah, (Beirut:
Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
_______ Al-Tibr al-Masbuk fii
Nasihat al-Muluk
_______ Al-Mustasfa fi Ilmi
al-Ushul (Intisyarat Dar al-Dzakhoir, 1368H)
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997)
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1997)
Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali wa
al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal)
Al-Syahrastani, Al-Milal wa
al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah)
Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi
Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964)
Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq
al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah Zeid bin Ali
at-Tsaqaafi, 2003)
Alparslan Acikgence, The
Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of
The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC)
1996,VOL.1 No 1&2)
Busthami M. Said, Pembaharu dan
Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992)
Dhiauddin Rais,Teori Politik
Islam,Terjemahan al-Nadzariat al-Siyasah al-Islamiyah (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001)
Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam
Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992)
Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif
az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul
Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009)
Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa Daiwa
al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut:
Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985)
Mohammad Baharun, Epistemologi
Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan,
2008)
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu
Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka
Setia,2007)
Seyyed Hossein Nasr dan Iliver
Leaman(ed),Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan,
2003)
Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali dan
Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004)
Sulaiman Dunya, al-Haqiqah fi
al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971)
Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali
ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo:
Isa al-Babi al-Halabi, 1968)
[1] Busthami M. Said, Pembaharu
dan Pembaharuan dalam Islam (Ponorogo: Trimurti, 1992), p.55
[2] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad
fii al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003, cet. 1 )
p. 69
[3] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin juz II ,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah ) p.151
[4]Ibid, p.381
[5]Lihat Ali Mufrodi, Islam di
Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), p. 123 dan Mohammad
Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari Imamah sampai Mut’ah (Malang:
Pustaka Bayan, 2008 cet ke-3), p.76
[6]Lebih lengkap tentang kritikannya
baca Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah, (Beirut:
Maktabah al-‘Ashriyah, 2001)
[7] Abdul Wahab bin Ali al-Subki, Thabaqat
al-Syafi’iyyah al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah) jilid 6,
p.191 lihat juga Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut:
Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992), juz VII, p. 247-248
[8]Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih
al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001) p. 7
[9] Lihat Tajuddin Abi Nasr ‘Abd
al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo:
Isa al-Babi al-Halabi, 1968), p. 194
[10]Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka,
1997), 148
[11]Sulaiman Dunya, al-Haqiqah
fi al-Nazr Ind al-Ghazali (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1971),
[12]Sibawaihi,Eskatologi al-Ghazali
dan Fazlur Rahman (Yogyakarta: Islamika, 2004), p.37
[13]Sulaiman Dunya, Maqasid
al-Falasifah, p. 24
[14]Ahmad Syarbasi, Al-Ghazali
wa al-Tasawwuf al-Islami (Kairo: Dar al-Hilal), p. 33
[15]Al-Syahrastani, Al-Milal wa
al-Nihal (Beirut: Dar al-Ma’rifah), jilid I, p. 23-33
[16] Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah
fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964), jilid I, p.
217
[17]Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam, ISLAMIA, Vol. V no. 2, thn 2009
[18] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu
Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka
Setia,2007), p.37
[19] Ibid
[20] Ibid.
[21] Ibnu Khaldun,Kitab al’Ibar wa
Daiwa al-Mubtada wa al-Khabar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), jld
III, p.482-571
[22] Saeful Anwar,Filsafat Ilmu
al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi (Bandung: Pustaka Setia,
2007), p.39
[23] Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam, ISLAMIA, Vol. V no. 2, thn 2009, p. 56-57
[24] Sultan Saljuk menolak
kelompok-kelompok sempalan radikal Batiniyah yang kadang kerap melakukan
tidakan pembunuhan kepada musuh-musuhnya. Kebijakan Sultan yang menolak
kelompok Batiniyah bukan semata-mata murni karena perbedaan pandangan politik
akan tetapi lebih banyak dikarenakan kelompok Batiniyah melakukan banyak
penyimpangan ideologi, melakukan tindak kekerasan dan berusahan menggulingkan
Sultan dengan cara-cara politik adu domba.
[25] Ihya Ulumu al-Din, jilid.
I, p.30
[26] Syi’ah Batiniyah adalah aliran dari
Syi’ah Ismailiyah – yaitu sekte Syiah yang meyakini keimamahan hanya sampai
Ismail bin Ja’far al-Shadiq sebagai imam ke-7. Perbedaan dengan Syi’ah Itsna
‘Asyariyah adalah bahwa, Syiah Itsna Asyariyah tidak mengakui Ismail bin Ja’fa
al-Shadiq sebagai imam. Manurut Istna Asyariyah iman yang ke-7 adalah Musa bin
Ja’far al-Kadzim. Ismailiyah hanya meyakini tuhuh iman –bukan dua belas imam
sebagaimana diyakini Syiah Itsna Asyariyah – dan imam yang ke-7 atau terakhir
adalah Ismail bin Ja’far al-Shadiq. Mereka dinamakan Batiniyah karena mereka
adalah golongan yang lahiriyahnya mengaku diri Islam, namun hakikat batinnya
kufur. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-Madzahib al-Islamiyah,
p. 265 dan Ahmad bin Sulaiman, Haqaaiq al-Ma’rifah fi ‘Ilmi al-Kalam (San’a: Muassasah
Zeid bin Ali at-Tsaqaafi), p. 500
[27]Abu Hamid al-Ghazali,Al-Tibr
al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, p.1-4
[28] Lihat Kamaluddin Nurdin Murjani, “Mauqif
az-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min al-Aqidah al-Isma’iliyah wa Falsafatuha (Bierut: Darul
Kutub al-Ilmiyah, Bairut-Lebanon, 2009).
[29] Ibid
[30] Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis (Beirut:
Dar al-Kitab al-Arabiy, 1985), p. 124
[31] Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ih
al-Batiniyah, p.11.
[32] Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam, ISLAMIA Vol. V no. 2 th 2009, p.57
[33] Ibid, p. 4
[34] Abu Hamid al-Ghazali,Al-Tibr
al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, p. 4
[35] Ibid, p. 6
[36] Ibid, p.8
[37] Ibid, p.9
[38] Lihat Alparslan Acikgence, The
Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal of
The International Institute of Islamic Though and Civilization (ISTAC)
1996,VOL.1 No 1&2), p.6
[39] Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.Naquib al-Attas (Bandung:
Mizan,2003), p.174
[40] Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad
fi al-I’tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983), p.148
[41] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin, jilid I, p. 22
[42] Ibid.
[43] Ibid
[44] Ibid, p. 21
[45] Dhiauddin Rais,Teori Politik
Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p. 279
[46] Fadaih al-Batiniyah, p.
205 dan lihat juga Abu Hamid al-Ghazali, Kimiyat al-Sa’adah, p.52
[47] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad,
p. 149 lihat juga Fadaih al-Batiniyah, p. 155
[48] Ibid, p. 169
[49] Ibid, p. 170
[50] Uraian lebih lengkap dapat dibaca
di Al-Iqtishad fi al-I’tiqad bab fi al-Imamah
[51] Ibid.
[52] Al-Iqtishad fi al-I’tiqad,
p. 149
[53] Dhiauddin Rais,Teori Politik
Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), p.102
[54] Dalam Ihya Ulumuddin al-Ghazali
membagi ilmu menjadi ilmu fardlu ain yaitu ilmu-ilmu syariat dan ilmu fardlu
kifayah seperti ilmu matematika, kedokteran, biologi, sosiologi dalan lain
sebagainya. Lihat Ihya Ulumuddin, Juz I p. 16