BENARKAH MAKNA IDUL FITRI KEMBALI SUCI
BENARKAH MAKNA IDUL FITRI KEMBALI SUCI A nggapan tersebar hampir di seluruh lapisan masyarakat, Idul fitri = kembali suci. ...

https://rohman-utm.blogspot.com/2016/06/benarkah-makna-idul-fitri-kembali-suci.html
BENARKAH MAKNA IDUL FITRI KEMBALI
SUCI
Anggapan tersebar hampir di seluruh lapisan masyarakat, Idul fitri =
kembali suci. Benarkah
demikian?
Masyarakat, bahkan para tokoh agama, sering mengartikan idul
fitri dengan kembali suci. Mereka mengartikan ‘id dengan makna kembali dan
fitri diartikan suci.
Para khatib
seringkali memberi kabar gembira kepada masyarakat yang telah menyelesaikan
ibadah selama ramadhan, bahwa pada saat idul fitri mereka telah kembali suci,
bersih dari semua dosa antara dia dengan Allah.
Kemudian
diikuti dengan meminta maaf kepada sesama, tetangga kanan-kiri. Sehingga usai
hari raya, mereka layaknya bayi yang baru dilahirkan, suci dari semua dosa. Tak
lupa sang khatib akan mengkaitkan kejadian ini dengan nama hari raya ini, idul
fitri. Dia artikan ‘Kembali Suci’. Turunan dari pemaknaan ini, sebagian
masyarakat sering menyebut tanggal 1 syawal dengan ungkapan ‘hari yang fitri’.
Setidaknya ada
2 kesalahan fatal terkait ceramah khatib di atas,
Pertama, memaknai
idul fitri dengan kembali suci. Dan ini kesalahan bahasa
Kedua, keyakinan
bahwa ketika idul fitri, semua muslim dosanya diampuni.
Mengapa salah?
Berikut rincian keterangan masing-masing;
Arti Idul Fitri
secara Bahasa
Idul fitri
berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara
bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id
karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada
waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,
سمي العِيدُ
عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya
dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan
Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang
mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat
telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir
Al-Ainain, hlm. 5).
Selanjutnya
kita akan membahas arti kata fitri.
Perlu diberi
garis sangat tebal dengan warna mencolok, bahwa fitri TIDAK sama dengan fitrah.
Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda. Beda arti dan penggunaannya.
Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama, banyak masyarakat
indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama. Untuk lebih menunjukkan
perbedaannnya, berikut keterangan masing-masing,
Pertama, Kata
Fitrah
Kata fitrah
Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi
menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق
عليها البشر
“Kondisi awal
penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir,
3/422).
Dengan
demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah. Telah
mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, namun kemudian mengalami gesekan
dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau agama
lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan
kesalahan.
Kedua, kata
Fitri
Kata fitri
berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi
berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan
keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Terdapat banyak
dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis
tentang anjuran untuk menyegerahkan berbuka,
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين
ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam
akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena
orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud
2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).
Dari Sahl bin
Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي
على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan
senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka
dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan
sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr
pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci. Makna hadis ini menjadi
aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan
senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berSUCI
dengan terbitnya bintang”
Dan tentu saja,
ini keluar dari konteks hadis.
2. Hadis
tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai
berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari
berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” (HR.
Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan Al-Albani).
Makna hadis di
atas akan menjadi aneh, ketika kita artikan Al-Fithr dengan suci.
“Hari suci adalah hari dimana kalian semua bersuci”.dan
semacam ini tidak ada dalam islam.
Karena itu
sungguh aneh ketika fitri diartikan suci, yang sama sekali tidak dikenal dalam
bahasa arab.
Suci Seperti
Bayi?
Selanjutnya
kita bahas konsekuensi dari kesalahan mengartikan idul fitri. Karena anggapan
bahwa idul fitri = kembali suci, banyak orang keyakinan bahwa ketika idul
fitri, semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, semua dosanya diampuni dan
menjadi suci.
Keyakinan
semacam ini termasuk kekeliruan yang sangat fatal. Setidaknya ada 2 alasan
untuk menunjukkan salahnya keyakinan ini,
Pertama,
keyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, dosanya diampuni
dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin
telah diterima oleh Allah, dan menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa
yang meraka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang
yang bisa memastikan hal ini, karena tidak ada satupun makhluk yang tahu apakah
amalnya diterima oleh Allah ataukah tidak.
Terkait dengan
penilaian amal, ada 2 hal yang perlu kita bedakan, antara keabsahan amal dan
diterimanya amal.
1. Keabsahan
amal.
Amal yang sah
artinya tidak perlu diulangi dan telah menggugurkan kewajibannya. Manusia bisa
memberikan penilaian apakah amalnya sah ataukah tidak, berdasarkan ciri
lahiriah. Selama amal itu telah memenuhi syarat, wajib, dan rukunnya maka amal
itu dianggap sah.
2. Diterimanya
amal
Untuk yang
kedua ini, manusia tidak bisa memastikannya dan tidak bisa mengetahuinya.
Karena murni menjadi hak Allah. Tidak semua amal yang sah diterima oleh Allah,
namun semua amal yang diterima oleh Allah, pastilah amal yang sah.
Karena itulah,
terkait diterimanya amal, kita hanya bisa berharap dan berdoa. Memohon kepada
Allah, agar amal yang kita lakukan diterima oleh-Nya. Seperti inilah yang
dilakukan orang shaleh masa silam. Mereka tidak memastikan amalnya diterima
oleh Allah, namun yang mereka lakukan adalah memohon dan berdoa kepada Allah
agar amalnya diterima.
Siapakah kita
diandingkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Seusai memperbaiki bangunan Ka’bah,
beliau tidak ujub dan memastikan amalnya diterima. Namun yang berliau lakukan
adalah berdoa,
رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ya Allah,
terimalah amal dari kami. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 127).
Demikian pula
yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi pengikut mereka. Yang mereka
lakukan adalah berdoa dan bukan memastikan.
Mu’alla bin
Fadl mengatakan:
كانوا يدعون
الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم
“Dulu para
sahabat, selama enam bulan sebelum datang bulan Ramadhan, mereka berdoa
agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan. Kemudian,
selama enam bulan sesudah Ramadhan, mereka berdoa agar Allah menerima amal
mereka ketika di bulan Ramadhan.” (Lathaiful Ma›arif, Ibnu Rajab, hal.264)
Karena itu,
ketika bertemu sesama kaum muslimin seusai ramadhan, mereka saling mendoakan,
تَقَبَّلَ اللهُ
مِنَّا وَمِنْكُم
“Semoga Allah
menerima amal kami dan kalian”
Inilah yang
selayaknya kita tiru. Berdoa memohon kepada Allah agar amalnya diterima dan
bukan memastikan amal kita diterima.
Kedua,
sesungguhnya ramadhan hanya bisa menghapuskan dosa kecil, dan bukan dosa besar.
Sebagaimana dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ
الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ،
مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر
“Antara shalat
5 waktu, jumatan ke jumatan berikutnya, ramadhan hingga ramadhan berikutnya,
akan menjadi kaffarah dosa yang dilakukan diantara amal ibadah itu, selama
dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Ahmad 9197 dan Muslim 233).
Kita
perhatikan, ibadah besar seperti shalat lima waktu, jumatan, dan puasa
ramadhan, memang bisa menjadi kaffarah dan penebus dosa yang kita lakukan
sebelumnya. Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
syarat: ‘selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Adanya syarat ini menunjukkan bahwa
amal ibadah yang disebutkan dalam hadis, tidak menggugurkan dosa besar dengan
sendirinya. Yang bisa digugurkan hanyalah dosa kecil.
Lantas
bagaimana dosa besar bisa digugurkan?
Caranya adalah
dengan bertaubat secara khusus, memohon ampun kepada Allah atas dosa tersebut.
Sebagaimana Allah telah tunjukkan hal ini dalam Al-Quran,
إِنْ
تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
Jika kamu
menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya,
niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa: 31
Dikutip dari
berbagai sumber.