rohmans

BERLINDUNG DIBALIK LABELISASI SYARIAH

Dr.Abdur Rohman.MEI Ketua Pusat Studi Ekonomi Syariah Universitas Trunojoyo Madura Perkembangan ekonomi syariah, khususnya perbankan s...

Dr.Abdur Rohman.MEI
Ketua Pusat Studi Ekonomi Syariah Universitas Trunojoyo Madura
Perkembangan ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah dewasa ini, berdampak pada  “labelisasi syariah” pada berbagai aspek kegiatan, terlebih pada dunia bienis. Apakah hal ini, merupakan strategi pemasaran agar penjualan ‘laris-manis’ atau sebagai respon terhadap kebutuhan mayoritas masyarakat yang notabene Muslim. Tampaknya, fenomena ini patut dianalisa secara serius dan mendalam.Sehingga tidak menimbulkan jarak pemisah pemahaman dan menghilangkan subtansi pada labelisasi syariah sendiri.
Karena labelisasi syariah disinyalir menjadi brand and trend cukup hebat untuk mengkooptasi konsumen. Bila tidak menggunakan produk yang berlabel syariah, maka dianggap “tidak syar’i/ islami” dan haram...Benarkah demikian? Sehingga mereka berbondong-bondong menggunakan label syariah untuk kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Hal ini tentunya akan menyisakan pertanyaan besar dan problematis, ketika keyakinan agama dilabelkan pada sektor ekonomi dan Apakah Islam ingin mengikuti jejak kapitalisme yang menguasai pasar dimasa mendatang ?
Tentunya, tulisan ini  tidak bermaksud alergi terhadap “syariah” karena merupakan tangga pertama untuk mencapai  “hakikat”. Namun, bagaimana mungkin syariah yang Ilahiah menjadi kendaraan bagi orang-orang yang cinta dunia perlu untuk dikaji lebih mendalam.
Memang tidak bisa men’judge’  produsen atau pebisnis yang menggunakan “labelisasi syariah” selama ini, semata-mata karena faktor keuntungan semata. Penawaran mereka bisa jadi dilatarbelakangi permintaan masyarakat dan kedadaran masyarakat terhadap nilai-nilai syariah.
Sebut saja “Go-Jek Syar’i khusus perempuan. ide cerdas Jasa antar jemput ini diprakarsai oleh UPN Veteran Surabaya, Evilia Adriani (19). Berdirinya Dilatarbelakangi karena melihat berita pelecehan seksual terhadap perempuan di angkutan umum. Selain itu,  Evi melihat peluang bahwa tidak semua perempuan bersedia menggunakan jasa ojek laki-laki. Sama halnya seperti “Go-Jek”, pengguna “Go-Jek Syar’i” dapat melakukan pemesanan melalui aplikasi di ponsel pintar.
Sungguhpun demikian, tak bisa memungkiri bahwa “labelisasi syariah” yang masif merupakan wujud kedigdayaan “kapitalisme berjubah syariah”. Jadi, tidak dinafikkan bahwa “labelisasi syariah” hanya kamuflase untuk memuluskan tujuan sebagian pebisnis semata.
Sehingga, tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa penguasa pasar bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menyentuh sensitivitas umat Islam dengan label syariah. Karena faktanya, Muslim Indonesia memang telah terjangkit euforia terhadap segala sesuatu yang berbalut “syariah”.
Riyanto, pendiri Hotel Sofyan yang telah bercabang di berbagai kota, pernah mengungkapkan bahwa pesatnya kemajuan hotel Islami yang dibangunnya mengindikasikan bahwa bisnis syariah telah mengakar di tanah air. Lebih lanjut, Riyanto mengakui adanya ikatan berkelindan yang mempengaruhi pendirian bisnis syariah, yakni dorongan produk (product driven) dan pasar (market driven).
Selain itu, berkembang pula bisnis properti syariah, terutama perumahan syariah. Para pengembang menciptakan konsep perumahan yang diklaim berbasis syariah, serta dengan sistem pembayaran tanpa riba. Bisnis ini ternyata sangat menguntungkan karena banyak masyarakat Indonesia yang tergiur tinggal di hunian “islami”. Terbukti dengan perkembangan “perumahan syariah” di berbagai kota, seperti Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan lainnya.
Kemudian, paling fenomenal adalah Wardah Effect. Penjualan Wardah Cosmetics meningkat rata-rata sebesar 75 persen per tahun. Padahal menurut survei AC Nielsen, rata-rata industri kosmetik hanya meningkat 15 persen per tahun. Wardah sebagai produk yang berlabel halal  menggerogoti pasar kosmetik nasional, bahkan bisa bersaing dengan produk luar negeri. Pemain lama seperti Sari Ayu Martha Tillaar sempat kebakaran jenggot dengan masuknya Wardah dengan cepat ke pasar.
Bisnis syariah juga sudah merambah bisnis mode yang acap kali diidentikkan dengan dunia gemerlap. Kini, Indonesia telah mempersiapkan diri menjadi “pusat/ kiblat fashion muslim dunia” yang dicanangkan pada tahun 2020. Langkah untuk memuluskan ini tak hanya pada tataran nasional, tapi juga internasional. Pada 2012 diselenggarakan peragaan busana di Pullman Hotel yang melibatkan desainer Indonesia seperti Anne Rufaidah dan Tuti Adib. Mereka berkolabrorasi dengan Kim Laursen, perancang busana dan konsultan mode asal Paris. Selain itu, pasar Indonesia telah menggodok kontes Muslimah, seperti ‘Muslimah Beuaty Sejagad’, ‘Muslimah Beauty Contest’, ‘Indonesia Islamic Fashion Consortium’, dan event serupa lainnya.
Pelaku bisnis sadar bahwa “label syariah” sangat menguntungkan mengingat jumlah muslim yang tersebar di 148 negara mencapai 1,8 miliar. Berdasarkan data yang dirilis PEW Research Center’s Forum on Religion & Public Life, pasar halal global diperkirakan mencapai US$2,3 triliun hingga akhir 2010. Komposisinya terdiri atas 67 persen untuk produk makanan dan minuman, 22 persen  untuk farmasi, serta 11 persen untuk perawatan tubuh dan kosmetika. Pada 2009, jumlah konsumsi makanan dan minuman halal di seluruh negara muslim di dunia mencapai US$1,54 triliun. Trend seperti ini justru tidak akan ditemukan di negara-negara di Timur Tengah.

Refleksi dan solusi
Memang perkembangan ekonomi syariah  membawa dampak pada ummat islam, baik positif maupun negatif syariah. Sehingga “islamisasi label” atau “labelisasi syariah” seyogyanya dapat mengindikasikan semangat religiusitas Muslim khususnya di Indonesia.
Sungguhpun Masih banyak pertanyaan yang menggelitik, tapi tak bisa dijawab dengan instan. Tidak ada yang bisa mengklaim dirinya lebih Islami atau telah menjalankan syariah dengan ilmu yang dangkal. Terlebih lagi, bila itu didasarkan pada euforia terhadap segala sesuatu yang berlabel “syariah”. Faktanya, fenomena inilah yang mempengaruhi pola keberagamaan di Indonesia pada segala sektor, tak hanya pada sektor ekonomi.
Selain dari pada itu, tak bisa memungkiri, pada sektor politik salah satunya. Sebagai contoh kasus, para politisi daerah berbondong-bondong memberlakukan “perda syariah”, bahkan telah berkoar-koar sebagai janji kampanye. Apakah mereka mengerti syariah, bagaimana menerapkan syariah? Apakah langkah politik ini hanya untuk mendongkrak suara? Bila itu yang terjadi, betapa rendahnya “Islam” hanya diposisikan sebagai tameng yang mengantarkan pada kekuasaan. Apakah ini juga tujuan yang ingin diraih elite partai-partai politik berbasis Islam.
Melihat sejumlah fakta diatas, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu diperlu diperhatikan demi tegaknya ekonomi syariah dimasa mendatang, sehingga tidak saja pada level lebelisasi syariah saja, tetapi syariah benar-benar dapat dijadikan sebagai ruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Pertama : Optimimalisasi DPS ( dewan pengawas syariah) dai syariah pada setiap perusahaan yang memiliki label syariah, dapat berbentuk pelatihan dan bimbingan  tentang prinsip syariah sebenarnya dan lain sebagainya.
Kedua: Perlunya sosialisasi sistem ekonomi syariah lebih ditingkatkan, tidak saja pada wilayah perbankkan saja dan akademisi. Sosialisasi ini akan berhasil apabila dilakukan dengan cara penuh kesadaran yang terstruktur serta  berkelanjutan.


Related

Semua 9160588017591060566

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item