BERLINDUNG DIBALIK LABELISASI SYARIAH
Dr.Abdur Rohman.MEI Ketua Pusat Studi Ekonomi Syariah Universitas Trunojoyo Madura Perkembangan ekonomi syariah, khususnya perbankan s...

https://rohman-utm.blogspot.com/2015/10/kisi-kisi-soal-manajemen-investasi.html
Dr.Abdur Rohman.MEI
Ketua Pusat Studi Ekonomi Syariah Universitas Trunojoyo Madura
Perkembangan ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah dewasa ini,
berdampak pada “labelisasi syariah” pada
berbagai aspek kegiatan, terlebih pada dunia bienis. Apakah hal ini, merupakan
strategi pemasaran agar penjualan ‘laris-manis’ atau sebagai respon terhadap
kebutuhan mayoritas masyarakat yang notabene Muslim. Tampaknya, fenomena ini
patut dianalisa secara serius dan mendalam.Sehingga tidak menimbulkan jarak
pemisah pemahaman dan menghilangkan subtansi pada labelisasi syariah sendiri.
Karena labelisasi syariah disinyalir menjadi brand and trend cukup hebat untuk mengkooptasi konsumen.
Bila tidak menggunakan produk yang berlabel syariah, maka dianggap “tidak
syar’i/ islami” dan haram...Benarkah demikian? Sehingga mereka
berbondong-bondong menggunakan label syariah untuk kepentingan individu dan
kelompok tertentu.
Hal ini tentunya akan menyisakan pertanyaan besar dan problematis, ketika
keyakinan agama dilabelkan pada sektor ekonomi dan Apakah Islam ingin mengikuti
jejak kapitalisme yang menguasai pasar dimasa mendatang ?
Tentunya, tulisan ini tidak
bermaksud alergi terhadap “syariah” karena merupakan tangga pertama untuk
mencapai “hakikat”. Namun, bagaimana mungkin syariah yang Ilahiah menjadi
kendaraan bagi orang-orang yang cinta dunia perlu untuk dikaji lebih mendalam.
Memang tidak bisa men’judge’ produsen atau pebisnis yang menggunakan
“labelisasi syariah” selama ini, semata-mata karena faktor keuntungan semata.
Penawaran mereka bisa jadi dilatarbelakangi permintaan masyarakat dan kedadaran
masyarakat terhadap nilai-nilai syariah.
Sebut saja “Go-Jek
Syar’i khusus perempuan. ide cerdas Jasa antar jemput ini diprakarsai oleh UPN
Veteran Surabaya, Evilia Adriani (19). Berdirinya Dilatarbelakangi karena melihat
berita pelecehan seksual terhadap perempuan di angkutan umum. Selain itu,
Evi melihat peluang bahwa tidak semua perempuan bersedia menggunakan jasa
ojek laki-laki. Sama halnya seperti “Go-Jek”, pengguna “Go-Jek Syar’i” dapat
melakukan pemesanan melalui aplikasi di ponsel pintar.
Sungguhpun demikian,
tak bisa memungkiri bahwa “labelisasi syariah” yang masif merupakan wujud
kedigdayaan “kapitalisme berjubah syariah”. Jadi, tidak dinafikkan bahwa
“labelisasi syariah” hanya kamuflase untuk memuluskan tujuan sebagian pebisnis
semata.
Sehingga, tidak bisa
dipungkiri lagi, bahwa penguasa pasar bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya
dengan menyentuh sensitivitas umat Islam dengan label syariah. Karena faktanya,
Muslim Indonesia memang telah terjangkit euforia terhadap segala sesuatu yang
berbalut “syariah”.
Riyanto, pendiri Hotel Sofyan yang telah bercabang di berbagai kota,
pernah mengungkapkan bahwa pesatnya kemajuan hotel Islami yang dibangunnya
mengindikasikan bahwa bisnis syariah telah mengakar di tanah air. Lebih lanjut,
Riyanto mengakui adanya ikatan berkelindan yang mempengaruhi pendirian bisnis
syariah, yakni dorongan produk (product driven) dan
pasar (market driven).
Selain itu, berkembang pula bisnis properti syariah, terutama perumahan
syariah. Para pengembang menciptakan konsep perumahan yang diklaim berbasis
syariah, serta dengan sistem pembayaran tanpa riba. Bisnis ini ternyata sangat
menguntungkan karena banyak masyarakat Indonesia yang tergiur tinggal di hunian
“islami”. Terbukti dengan perkembangan “perumahan syariah” di berbagai kota,
seperti Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan lainnya.
Kemudian, paling fenomenal adalah Wardah Effect. Penjualan
Wardah Cosmetics meningkat rata-rata sebesar 75 persen per tahun. Padahal
menurut survei AC Nielsen, rata-rata industri kosmetik hanya meningkat 15
persen per tahun. Wardah sebagai produk yang berlabel halal menggerogoti
pasar kosmetik nasional, bahkan bisa bersaing dengan produk luar negeri. Pemain
lama seperti Sari Ayu Martha Tillaar sempat kebakaran jenggot dengan masuknya
Wardah dengan cepat ke pasar.
Bisnis syariah juga
sudah merambah bisnis mode yang acap kali diidentikkan dengan dunia gemerlap.
Kini, Indonesia telah mempersiapkan diri menjadi “pusat/ kiblat fashion muslim dunia” yang dicanangkan pada tahun
2020. Langkah untuk memuluskan ini tak hanya pada tataran nasional, tapi juga internasional.
Pada 2012 diselenggarakan peragaan busana di Pullman Hotel yang melibatkan
desainer Indonesia seperti Anne Rufaidah dan Tuti Adib. Mereka berkolabrorasi
dengan Kim Laursen, perancang busana dan konsultan mode asal Paris. Selain itu,
pasar Indonesia telah menggodok kontes Muslimah, seperti ‘Muslimah Beuaty
Sejagad’, ‘Muslimah Beauty Contest’, ‘Indonesia Islamic Fashion Consortium’,
dan event serupa lainnya.
Pelaku bisnis sadar
bahwa “label syariah” sangat menguntungkan mengingat jumlah muslim yang
tersebar di 148 negara mencapai 1,8 miliar. Berdasarkan data yang dirilis PEW
Research Center’s Forum on Religion & Public Life, pasar halal global
diperkirakan mencapai US$2,3 triliun hingga akhir 2010. Komposisinya terdiri
atas 67 persen untuk produk makanan dan minuman, 22 persen untuk farmasi,
serta 11 persen untuk perawatan tubuh dan kosmetika. Pada 2009, jumlah konsumsi
makanan dan minuman halal di seluruh negara muslim di dunia mencapai US$1,54
triliun. Trend seperti ini justru tidak akan ditemukan di
negara-negara di Timur Tengah.
Refleksi dan solusi
Memang perkembangan
ekonomi syariah membawa dampak pada
ummat islam, baik positif maupun negatif syariah. Sehingga “islamisasi label”
atau “labelisasi syariah” seyogyanya dapat mengindikasikan semangat religiusitas
Muslim khususnya di Indonesia.
Sungguhpun Masih banyak pertanyaan yang menggelitik, tapi tak bisa dijawab
dengan instan. Tidak ada yang bisa mengklaim dirinya lebih Islami atau telah
menjalankan syariah dengan ilmu yang dangkal. Terlebih lagi, bila itu
didasarkan pada euforia terhadap segala sesuatu yang berlabel “syariah”.
Faktanya, fenomena inilah yang mempengaruhi pola keberagamaan di Indonesia pada
segala sektor, tak hanya pada sektor ekonomi.
Selain dari pada itu, tak bisa memungkiri, pada sektor politik salah
satunya. Sebagai contoh kasus, para politisi daerah berbondong-bondong
memberlakukan “perda syariah”, bahkan telah berkoar-koar sebagai janji
kampanye. Apakah mereka mengerti syariah, bagaimana menerapkan syariah? Apakah
langkah politik ini hanya untuk mendongkrak suara? Bila itu yang terjadi,
betapa rendahnya “Islam” hanya diposisikan sebagai tameng yang mengantarkan
pada kekuasaan. Apakah ini juga tujuan yang ingin diraih elite partai-partai
politik berbasis Islam.
Melihat sejumlah fakta diatas, setidaknya ada beberapa catatan yang perlu
diperlu diperhatikan demi tegaknya ekonomi syariah dimasa mendatang, sehingga
tidak saja pada level lebelisasi syariah saja, tetapi syariah benar-benar dapat
dijadikan sebagai ruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Pertama : Optimimalisasi DPS ( dewan pengawas syariah) dai syariah pada
setiap perusahaan yang memiliki label syariah, dapat berbentuk pelatihan dan
bimbingan tentang prinsip syariah
sebenarnya dan lain sebagainya.
Kedua: Perlunya sosialisasi sistem ekonomi syariah lebih
ditingkatkan, tidak saja pada wilayah perbankkan saja dan akademisi.
Sosialisasi ini akan berhasil apabila dilakukan dengan cara penuh kesadaran yang
terstruktur serta berkelanjutan.