FILSAFAT EKONOMI ISLAM
Islam adalah agama yang universal dan komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bu...

https://rohman-utm.blogspot.com/2012/01/filsafat-ekonomi-islam.html
Islam adalah agama yang universal dan
komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat
manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai
akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan
sempurna (syumul). Kesempurnaan ajaran Islam, dikarenakan
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek spiritual
(ibadah murni), tetapi juga aspek mu’amalah yang meliputi ekonomi, sosial,
politik, hukum, dan sebagainya.
Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan
kesempurnaan Islam tersebut. Ini dapat dilihat dalam beberapa ayat,
seperti pada surat Al An’am ayat 38, “Sedikitpun tidak kami lupakan di
dalam kitab suci Al-Qur’an (QS. 6:38); surat Al-Maidah ayat 3 “Pada hari
ini Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan Kusempurnakan bagi kamu nikmatKu dan
Aku ridho Islam itu sebagai agama kamu”. Dalam ayat lainnya Allah
berfirman, “Kami menurunkan Al-Qur’an untuk menjelaskan segala
sesuatu” (QS.16:89).
Kesempurnaan Islam ini tidak saja
disebutkan dalam Al Quran, namun juga dapat dirasakan baik itu oleh para ulama
dan intelektual muslim sampai kepada non muslim. Seorang orientalis
paling terkemuka bernama H.A.R Gibb mengatakan, “Islam is much more
than a system of theologi its a complete civilization” (Islam bukan
sekedar sistem theologi, tetapi merupakan suatu peradaban yang lengkap).
Sehingga menjadi tidak relevan jika Islam
dipandang sebagai agama ritual an sich, apalagi menganggapnya
sebagai sebuah penghambat kemajuan pembangunan (an obstacle to economic
growth). Pandangan yang demikian, disebabkan mereka belum memahami Islam
secara utuh.
Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam
meliputi tiga pokok ajaran, yaitu Aqidah, Syari’ah dan akhlak, Hubungan antar
aqidah, syari’ah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa
sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif.
Aqidah adalah ajaran yang berkaitan dengan
keyakinan dan kepercayaan seseorang terhadap Tuhan, Malaikat, Rasul, Kitab dan
rukun iman lainnya. Akhlak adalah ajaran Islam tentang prilaku baik-buruk,
etika dan moralitas. Sedangkan syariah adalah ajaran Islam tentang hukum-hukum
yang mengatur tingkah laku manusia.
Syariah Islam terbagi kepada dua yaitu
ibadah dan muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan
hubungan manusia dengan khaliq-Nya. Muamalat dalam pengertian umum dipahami
sebagai aturan mengenai hubungan antar manusia.
Salah satu aspek penting yang terkait
dengan hubungan antar manusia adalah ekonomi. Ajaran Islam tentang
ekonomi memiliki prinsip-prinsip yang bersumber Alquran dan Hadits.
Prinsip-prinsip umum tersebut bersifat abadi, seperti prinsip tauhif, adil,
maslahat, kebebasan dan tangung jawab, persaudaraan, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip ini menjadi landasan
kegiatan ekonomi di dalam Islam yang secara teknis operasional selalu
berkembang dan dapat berubah sesuai dengan perkembanga zaman dan
peradaban yang dihadapi manusia. Contoh variabel yang dapat berkembang antara
lain aplikasi prinsip mudharabah dalam bank atau asuransi.
Pada masa dahulu aplikasinya sangat
sederhana dan berlangsung antara dua pihak. Pada masa sekarang ketika
mudharabah masuk dalam dunia perbankan aplikasinya mengalami pengembangan.
Demikian pula penerapan bai’ istishna’ dalam
pembangunan suatu proyek. Ini adalah pengembangan dari konsep jual biasa yang
diajarkan Alquran dan Sunnah. Tugas cendikiawan muslim sepanjang sejarah adalah
mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan situasi,
kondisi dan perkembangan zaman.
Dengan demikian, ciri khas aspek muamalat
(ekonomi) adalah cakupannya yang luas dan bersifat elastis, dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat. Ajaran
muamalat khususnya dalam ekonomi lebih tampak sifat universalnya.
Hal ini karena dalam bermuamalat di bidang ekonomi tidak membeda-bedakan muslim
dan non-muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diucapkan oleh
Khalifah Ali :
“ Dalam bidang muamalat kewajiban mereka
adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”.
FILSAFAT
EKONOMI ISLAM
Filsafat ekonomi, merupakan dasar dari
sebuah sistem ekonomi yang dibangun. Berdasarkan filsafat ekonomi yang ada
dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, misalnya tujuan
kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi, pembangunan ekonomi, kebijakan
moneter, kebijakan fiskal, dsb.
Filsafat ekonomi Islam didasarkan pada
konsep triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci
filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia
lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme. Filsafat ekonomi yang
Islami, memiliki paradigma yang relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan
estetis yang Islami yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku
ekonomi manusia. Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai
instrumental sebagai perangkat peraturan permainan (rule of game)
suatu kegiatan.
Sebagai disebut di atas, bahwa salah satu
poin yang menjadi dasar perbedaan antara sistem ekonomi Islam dengan sistem
ekonomi lainnya adalah pada falsafahnya, yang terdiri dari nilai-nilai dan
tujuan. Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai ekonomi bersumber Alquran dan
hadits berupa prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi lain hanya
terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam lebih
jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam setiap kegiatan
ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari setiap kegiatan
ekonomi Islam.
Bangunan Ekonomi Islam didasarkan
pada fondasi utama yaitu tauhid. Fondasi berikutnya, adalah
syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak merupakan refleksi dari
tauhid. Landasan tauhid yang tidak kokoh akan mengakibatkan implementasi
syariah dan akhlak terganggu.
Dasar syariah membimbing aktivitas
ekonomi, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak
membimbing aktivitas ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan
moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlah yang terpancar dari iman akan
mebnentuk integritas yang membentuk good corporate governance dan market
diciplin yang baik.
Dari fondasi ini muncul 10 prinsip
derivatif sebagai pilar ekonomi Islam Pembahasan komperhensif mengenai
prinsip-prinsip ini selanjutnya akan dijelaskan secara lebih detail di bawah
ini:
1. Tauhid
Tauhid merupakan fondasi utama seluruh
ajaran Islam. Dengan demikian Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktivitas
umat Islam, baik di bidang ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Dalam
Al-Qur’an disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari ekonomi
Islam. (39 : 38 ).
Hakikat tauhid juga dapat berarti
penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi, baik menyangkut ibadah maupun
muamalah. Sehingga semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam kerangka
menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.
Dalam konteks ini Ismail Al- Faruqi mengatakan,
“ it was al- tauhid as the first principle
of the economic order that created the first “ welfare state” and Islam that
institutionalized that first socialist and did more for social justice as well
as for the rehabilitation from them to be described in terms of the ideals of
contemporary western societies”.
{Tauhid sebagai prinsip pertama tata
ekonomi yang menciptakan “negara sejahtera” pertama, dan Islamlah yang
melembagakan sosialis pertama dan melakukan lebih banyak keadilan
sosial. Islam juga yang pertama merehabilitasi (martabat) manusia. Pengertian
(konsep) yang ideal ini tidak ditemukan dalam masyarakat Barat masa kini}.
Landasan filosofis inilah yang membedakan
ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan
pada filsafat sekularisme dan materialisme. Dalam konteks ekonomi, tauhid
berimplikasi adanya kemestian setiap kegiatan ekonomi untuk bertolak dan
bersumber dari ajaran Allah, dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan Allah
dan akhirnya ditujukan untuk ketaqwaan kepada Allah.
Konsep tauhid yang menjadi dasar filosofis
ini, mengajarkan dua ajaran utama dalam ekonomi. Pertama, Semua
sumber daya yang ada di alam ini merupakan ciptaan dan milik Allah secara
absolut (mutlak dan hakiki). Manusia hanya sebagai pemegang amanah (trustee) untuk
mengelola sumberdaya itu dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
kehidupan manusia secara adil.
Dalam mengelola sumberdaya itu manusia
harus mengikuti aturan Allah dalam bentuk syariah. Firman Allah, “Kemudian
kami jadikan bagi kamu syariah dalam berbagai urusan, maka ikutilah
syariah itu. Jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tak mengetahui” (QS:1Al-Jatsiyah
8)
Salah satu contoh praktik ekonomi saat ini
yang bertentangan dengan Tauhid adalah bunga. Bunga (interest) yang memastikan
usaha harus berhasil (untung) bertentangan dengan tauhid. Firman Allah, “Seseorang
tidak bisa memastikan berapa keuntungannya besok”,(Ar-Rum: 41). Padahal
setiap usaha mengandung tiga kemungkinan, yaitu untung, impas atau rugi. Lebih
dari itu, tingkat keuntungan itupun bisa berbeda-beda, bisa besar, sedang
atau kecil. Jadi, konsep bunga benar-benar tidak sesuai dengan syariah,
karena bertentangan dengan prinsip tauhid.
Kedua, Allah
menyediakan sumber daya alam sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Manusia yang berperan sebagai khalifah, dapat memanfaatkan sumber
daya yang banyak itu untuk kebutuhan hidupnya. Dalam perspektif teologi Islam,
semua sumber daya yang ada, merupakan nikmat Allah yang tak terhitung ( tak
terbatas ) banyaknya, sebagaimana dalam firmannya “ Dan jika kamu
menghitung – hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak bisa menghitungnya”. (
QS. 14: 34 )
Berbeda dengan pandangan di atas, para
ahli ekonomi konvensional selalu mengemukakan jargon bahwa sumber daya alam
terbatas ( limited ). Karena itu menurut ekonomi Islam, krisis
ekonomi yang dialami suatu negara, bukan karena terbatasnya sumber daya alam,
melainkan karena tidak meratanya distribusi (maldistribution), sehingga
terwujud ketidakadilan sumber daya ( ekonomi ).
Selanjutnya konsep tauhid ini mengajarkan
bahwa segala sesuatu bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah,
termasuk dalam menggunakan sarana dan sumber daya harus disesuaikan dengan
syariat Allah. Aktivitas ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi,
ekspor – impor idealnya harus bertitik tolak dari tauhid (keilahian) dan
berjalan dalam koridor syariah yang bertujuan untuk menciptakan falah dan ridha
Allah.
Seorang muslim yang bekerja dalam bidang
produksi misalnya, maka itu tidak lain diniatkan untuk memenuhi perintah Allah. “Dialah
yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya dan hanya kepada-Nya kami dikembalikan”.
(QS. Al-Mulk: 15).
Demikian pula ketika berdagang, bekerja di
pabrik atau perusahaan. Semuanya dalam bingkai ibadah kepada Allah. Makin tekun
seseorang bekerja, makin tinggi nilai ibadah dan takwanya kepada Allah.
Demikian gambaran seorang muslim yang menganggap bahwa pekerjaannya itu adalah
ibadah kepada Allah.
Aspek tauhid dalam produksi akan tercermin
dari output yang dihasilkan. Seseorang yang berproduksi dengan nama Allah, maka
barang yang diproduksi akan terjaga kebaikan dan kehalalannya. Sehingga mereka
tidak akan memproduksi barang-barang yang membawa mudharat seperti rokok, miras
apalagi narkoba serta barang-barang haram lainnya. Termasuk juga dalam proses
produksi barang-barang halal.
Tidak hanya dalam aspek produksi, aspek
tauhid pun idealnya dimiliki seorang muslim yang hendak membeli, menjual, dan
meminjam. Ia selalu tunduk pada aturan-aturan syariah. Ia tidak membeli atau
menjual produk dan jasa-jasa haram, memakan uang haram (riba), memonopoli milik
rakyat, korupsi, ataupun melakukan suap menyuap.
Ketika seorang muslim memiliki harta dan
ingin menginvestasikannya agar produktif, ia tidak akan menginvestasikannya
secara ribawi di lembaga-lembaga finansial yang berbasis bunga. Ia juga tidak
akan menggunakannya untuk bisnis spekulasi di pasar modal atau pasar uang (money
changer dan bank devisa). Seorang muslim akan menginvestasikannya
berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti skim mudhabarah,
musyarakah, dan bentuk investasi syariah lainnya.
Prinsip konsumsi yang sesuai syariah salah
satunya adalah tidak berlebih-lebihan, menjauhi israf (mubazzir).
Perilaku tersebut dilarang dalam agama Islam. (QS.17:36) Meskipun
sumber daya yang tersedia cukup banyak, manusia sebagai khalifah Allah tidak
boleh boros dan serakah dalam menggunakannya. Boros adalah perbuatan setan ( QS.17:27 )
dan serakah adalah perilaku binatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya
haruslah dilakukan secara efisien dan memikirkan kepentingan generasi mendatang
serta memperhatikan lingkungan.
Seorang muslim sejati, meskipun memiliki
sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam
setiap muslim yang mendapat harta diwajibkan untuk mendistribusikan
kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat sesuai dengan aturan syariah.
Masyarakat berhak untuk menerima distribusi itu.
Kekayaan moral (akhlak) ekonomi Islam
dalam kegiatan ekonomi sebagaimana yang digambarkan di atas tidak muncul dalam
sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan mekanisme pasar. Karena menurut faham
ini, ekonomi merupakan ranah yang bebas dari nilai-nilai, termasuk moral dan
agama.
Prinsip Tauhid sebagaimana dijelaskan pada
bagian ini memiliki hubungan yang kuat dengan prinsip-prnsip ekonomi
Islam yang lain, seperti keadilan, persamaan, distribusi dan hak milik
sebagaimana dijelaskan pada bagian selanjutnya.
2. Maslahah
Prinsip kedua dalam ekonomi Islam adalah maslahah.
Penempatan prinsip ini diurutan kedua karena mashlahah merupakan konsep yang
paling penting dalam syariah, sesudah tawhid. Mashlahah adalah tujuan syariah
Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri.
Secara umum, maslahah diartikan sebagai
kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya
sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan
menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’
al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpukan, maslahah adalah upaya
mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam
ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah
iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin
diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan
syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik,
dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan
landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i,
bukan semata-mata profit motive dan material
rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Pengembangan ekonomi Islam dalam
menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah
didasarkan kepada maslahah. Para ulama menyatakan ”di mana
ada maslahah, maka di situ ada syariah Allah ”. Ini berarti
bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada
syariah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam
syariat Islam.
3. Adil
Prinsip adil merupakan pilar penting dalam
ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah ditekankan oleh Al quran sebagai misi
utama para Nabi yang diutus Allah (QS.57:25). Penegakan keadilan ini
termasuk keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Allah yang
menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan
pentingnya adanya keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun
sosial.
Komitmen Al quran tentang penegakan
keadilan terlihat dari penyebutan kata keadilan di dalamnya yang mencapai lebih
dari seribu kali[1], yang berarti ; kata urutan ketiga yang
banyak disebut Al quran setelah kata Allah dan ‘Ilm. Bahkan,
menurut Ali Syariati dua pertiga ayat-ayat Al quran berisi tentang keharusan
menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm, itsm,
dhalal, dll (Kahduri, The Islamic Conception of Justice (1984):10).
Tujuan keadilan sosio ekonomi dan
pemerataan pendapatan / kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan
dari filsafat moral Islam. Demikian kuatnya penekanan Islam pada penegakan
keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah sesuatu yang keliru, klaim kapitalis
maupun sosialis yang menyatakan bahwa hanya mereka yang menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis
tentang keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada
komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen
penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan akibat adanya tekanan
dari kelompok.
Secara konkrit, misalnya sistem
kapitalisme yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk
mencapai tujuan–tujuan keadilan sosio ekonomi yang berdasarkan nilai spritual
dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat
yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) dominan hanya digunakan oleh
para pengusaha besar (konglomerat).
Kemanfaatan dari lembaga perbankan tidak
dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara.
Fenomena ini terlihat sangat jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin
kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar. Sebagaimana
disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan
keadilan sosio ekonomi, merupakan tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan
tekanan-tekanan politik. Maka, untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu
mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer
payment.
Meskipun ada usaha melalui instrumen
pajak, namun langkah-langkah ini menurut Milton Friedman, terbukti tidak cukup
efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena nyatanya pajak selalu
menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya.
(Lihat, “Capitalisme and Freedom”, Chicago, The University of Chicago Press,
1962, p.172).
Konsep sosio ekonomi dalam Islam berbeda
secara mendasar dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme.
Keadilan sosio ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual,
juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia.
Al quran secara eksplisit menekankan
pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah
masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan,
karena keduanya merupakan dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Dengan demikian, kedua
tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam sehingga realisasinya
menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada
persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang menjadi amanat
suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni
pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti
sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan
juga menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat
melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj,
jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.
Aspek Tauhid yang menjadi fondasi utama
ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan konsep keadilan sosio-ekonomi dan
persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik
mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai konsekuensi,
bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain
yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan
sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang
sesuai dengan konsep persaudaraan umat
manusia. Sistem
keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang semuanya
secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang
positif bagi pengurangan ketidakadilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran
pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi
masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan
cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam konsentrasi
asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan konsep zakat, infaq,
sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan
sebagainya.
Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya
harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara kamu” (QS.
59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta
maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep
pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi
kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan
per kapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan
kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan menurut konsep ekonomi
kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan
dan pengurangan pengangguran.
Islam dan ajarannya menekankan
keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan an sich bukan
menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam,
pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi yang tak terpisahkan,.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang
dikembangkan pihak Barat dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim
orde baru, bertentangan dengan konsep keadilan ekonomi menurut
Islam.Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran
perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan
maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumber daya, dan efisiensi. Sistem
ini pun selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan seiring.
Sistem ekonomi kapitalis yang bebas nilai
pada akhirnya menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem
kapitalis juga telah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan
yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Di balik keberhasilannya,
sistem ekonomi ini telah mengakibatkan banyak konsumen yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin
terjadi terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir
dan tersungkur. Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta
seseorang (QS. 70:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya
pada setiap individu atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga
tidak dimaksudkan untuk menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku.
Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi
pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah
keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Hal ini menggambarkan
bahwa Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding
orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak
terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah
sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang
harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu berusaha.
Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam
yang memperkenankan pendapatan seseorang berbeda dengan orang lain, karena
usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah, “Sesungguhnya Allah melebihkan rezeki
sebagian kamu atas sebagian lain”. (QS. 16:71). Namun, orang yang diberi
kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok
masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat
terlepas dari kemisikinan.
Konsep keadilan sosio-ekonomi yang
diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional.
Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi yang
dilandaskan pada kebersamaan. Sehingga timbul anggapan disebagian
masyarakat yang menyatakan bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai
kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan
bahwa sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam
ke dalamnya, maka ia menjadi Islami.
Pendapat dan pandangan yang menyatakan
kemiripan sistem keadilan sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya
benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak
kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda
dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik
individu.
Reaksi marxisme dibungkus secara politis
revolusioner dalam paham komunis yang intinya mengajarkan bahwa seluruh unit
ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada
seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat pertentangan
terhadap pemilikan individu. Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan
sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling
mencintai (mahabbah), bahu membahu (takaful) dan saling tolong
menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara
penguasa dan rakyat.
4. Khilafah
Dalam doktrin Islam, manusia diciptakan
Allah untuk menjadi khalifah (wakil Allah) di muka bumi (QS.2;30, 6:165),
35:39). Manusia telah diberkahi dengan semua kelengkapan akal, spiritual,
dan material yang memungkinkannya untuk mengemban misinya dengan efektif.
Fungsi kekhalifahan manusia adalah uttuk mengelola alam dan memakmurkan
bumi sesuai dengan ketentuan dan syariah Allah. Dalam mengemban tugasnya
sebagai khalifah ia diberi kebebasan dan juga dapat berfikir serta menalar
untuk memilih antara yang benar dan yang salah, fair dan tidak fair dan
mengubah kondisi hidupnya ke arah yang lebih baik (Ar-Ra’d : 11).
Berbeda dengan paradigma kapitalisme,
konsep khilafah mengangkat manusia ke status terhormat di dalam alam semesta (QS.17:70).
Serta memberikan arti dan misi bagi kehidupan, baik laki-laki maupun wanita.
Arti ini diberikan oleh keyakinan bahwa mereka tidak diciptakan dengan
sia-sia (QS.3:192, 23:115)., tetapi untuk mengemban sebuah misi. Khalifah
berbuat sesuai ajaran Tuhan dan berfungsi sebagai wakil wakil Tuhan di muka
bumi
Manusia bebas memilih berbagai alternatif
penggunaan sumber-sumber ini. Namun, karena ia bukan satu-satunya khalifah,
tetapi masih banyak milyaran lagi khlaifah dan saudara-saudranya,
maka mereka harus memanfaatkan sumber-sumber daya itu secara adil dan efisien
sehingga terwujud kesejahteraan (falah) yang menjadi tujuan kegiatan ekonomi
Islam. Tujuan ini hanya tercapai jika sumber-sumber daya itu digunakan dengan
rasa tanggung jawab dan dalam batas-batas yang digariskan syariah dalam simpul maqashid.
Konsep khilafah juga meniscayakan peranan
negara dalam perekonomian. Peran penting tersebut antara lain memberikan
jaminan sosial kepada masyarakat, jaminan pelaksanaan ekonomi Islam, serta
kontrol pasar dan memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak orang
lain dalam kegiatan bisnis melalui lembaga hisbah. Peran negara dalam
perekonomian tidak berarti bahwa Islam menolak mekanisme pasar sepenuhnya.
Islam tidak akan intervensi pasar untuk
regulasi harga, kecualai jika terjadi distorsi pasar. Intervensi negara pada
harga didasarkan kan pada prinsip maslahah, yaitu untuk tujuan-tujuan kebaikan
dan keadilan secara menyeluruh. Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa negara memegang peranan penting untuk tegaknya keadilan dalam ekonomi.
5. Persaudaraan (ukhuwah)
Al-Quran mengajarkan persaudaraan (ukhuwah)
sesama manusia, termasuk dan terutama ukhuwah dalam perekonomian.[2] Al-Quran mengatakan, ”Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”.(QS.49:13). ”Kami
menjadikan kamu dari diri yang satu” (QS.4:1)
Ayat-ayat ini menjelaskan persamaan
martabat sosial semua umat manusia di dunia. Kedudukan manusia adalah sama di
hadapan Allah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad , ”Semua manusia
adalah ham-hamba Tuhan dan yang paling dicintai disisinya adalah mereka yang
berbuat baik kepada hamba-hambanya”.
Kriteria untuk menilai seseorang bukanlah
bangsa, ras, warna kulit, tetapi tingkat pengabdian dan ketaqwaanya kepada
Allah secara vertikal dan kemanusiaan secara horizontal. Nabi Muhamd Saw
mengatakan ”Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain”.
Ajaran Islam sangat kuat menekankan altruism,
yaitu sikap mementingkan orang lain. Dalam Al-Quran altruisme diistilahkan
dengan itstar yang termaktub dalam firman Allah, ”Mereka
lebih mementingkan orang lain dari diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
keadaan kesulitan”. Ajaran ini jelas tidak terdapat dalam ekonomi
kapitalisme.
Dalam ayat lain Allah menggambarkan potret
muslim sejati adalah mereka yang rela memberikan makanan yang memang ia
butuhkan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.[3] Dalam ayat lain Allah
berfirman, ”Orang bertaqwa itu memberikan harta yang ia cintai kepada
karib-kerabat, anak yatim dan orang-orang miskin”.
Sebagaimana disebut di atas bahwa Islam
mengajarkan konsep al-musawat (persamaan) di antara sesama
manusia. Semua sumber daya alam, flora dan fauna ditundukan oleh Allah bagi
manusia manapun sebagai sumber manfaat ekonomis ( QS. 6 : 142 – 145 ), 16 : 10
– 16. Di sini tampak jelas konsep persamaan manusia dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya.
Konsep persamaan manusia, menunjukan bahwa
Islam menolak pengklasifikasian manusia yang berdasarkan atas kelas – kelas.
Implikasi dari doktrin ini ialah bahwa antara manusia terjalin rasa
persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, saling membantu dan bekerjasama dalam
ekonomi, yakni syirkah, qiradh dan mudharabah ( profit and lost sharing ).
Inilah yang diterapkan di dalam aktivitas ekonomi mikro di lembaga-lembaga
keuangan Islam saat ini, seperti bank syari’ah, asuransi syari’ah, obligasi
syari’ah, pasar modal syariah, Baitul Mal wat Tamwil.(BMT). Dalam konteks
ekonomi makro praktik bagi hasil ini diterapkan dalam pinjaman luar negeri,
dalam instrumen moneter pemerintah sehingga sistem riba benar-benar dihapuskan
dalam seluruh aktivitas ekonomi baik mikro maupun makro.
Sikap egalitarian yang dibangun dalam
aktifitas ekonomi yang islami, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis
yang individualistis. Sistem ekonomi kapitalis dibangun atas dasar sebuah
konsep yang hanya memberi kemanfaatan kepada pemilik modal, baik itu dengan
sistem bunga, ataupun proses mendapatkan keuntungan yang menghalalkan segala
cara.
Konsekuensi prinsip ukhuwah adalah
niscayanya kerjasama (cooperaion) dalam bisnis. Cooperation merupakan
idealisme interaksi ekonomi. Namun, dalam praktiknya cooperation hanya
sebatas konsep dan wacana para pemikir ekonomi Islam ataupun berada di dunia
ide Plato yang belum hadir dalam tindakan praktik aktual. Secara
fakta sering terjadi para pebisnis menggunakan idiom cooperation,
akan tetapi yang diterapkan di lapangan adalah competition.
Salah satu contoh yang sederhana adalah
dalam penentuan harga. Industri besar yang manajemennya sudah berhasil menekan
ongkos produksi, dengan alasan harga pasar melumat lawan-lawannya.
Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi industri kecil kecuali gulung tikar atau diakuisisi
industri yang lebih besar.
Dalam kerangka konsep persaudaraan ini,
sikap yang baik kepada orang lain bukanlah sebagaimana yang diajarkan ekonomi
kapitalisme. Sebuah perjuangan hidup tidak hanya untuk memenuhi kepentingan dan
kepuasaan individu semata, tetapi juga saling berkorban dan bekerjasama
untuk memenuhi kebutuhan primer saudara seiman yang fakir ataupun miskin.
Bagaimanapun para ulama fiqh sepakat, bahwa memperhatikan kebutuhan pokok orang
miskin adalah kewajiban bersama (fardhu kifayah) masyarakat muslim.
Implikasi logis dari prinsip ukhuwah
adalah bahwa seluruh sumberdaya yang disediakan Allah harus digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pokok semua individu dan untuk menjamin standar hidup
yang wajar dan terhormat bagi setiap orang. Nabi bersabda, ”Tidaklah
beriman seseorang kamu, jika ia makan kenyang sementara tetanggnya kelaparan”. Karena
sumber daya yang bisa dikuasai manusias terbatas, maka untuk mewujudkan
filantropi tersebut, seorang muslim haruslah sederhana dalam mengkonsumsi
sumber daya yang tersedia. Pemenuhuan kebutuhan individu harus dilakukan dalam
kerangka hidup sederhana, tidak boleh ada pemborosan, mubazzir atau israf.
Sesuatu yang sangat disayangkan adalah praktek pemborosan yang
telah merajalela di negara muslim sebagaimana di negara-negara kapitalis.[4]
Konsep ukhuwah juga berimplikasi pada
akhlak dalam bersaing dalam suatu bisnis. Ukhuwah atau brotherhood amat
relevan untuk menjadi therapy bagi atmosphere interaksi bisnis
yang tercerabut dari persaudaraan dan rentan terhadap ancaman homo
homini lopus dan homo economicus.
Untuk itulah ekonomi Islam mengajarkan
persaingan yang sehat, ”Fastabiwul khairat”, dengan cara
meningkatkan efisiensi, kompetensi, dan bentuk-bentuk kompetisi sehat lainnya.
Dalam kaiatan inilah Islam melarang menjelekkan bisnis orang lain untuk
memenangkan bisnisnya, demikian pula Islam melarang bai’ ’ala bai
akhihi (membeli apa yanag sudah ditawar saudaranya).
Untuk mewujudkan konsep ukhuwah dalam
perekonomian, Islam juga mengajarkan dua instrumen utama. Pertama, menggalakkan
ZISWAF. Kedua, eliminasi riba dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dalam
Islam zakat bukanlah charity (bentuk bekas kasihan), tetapi kewajiban mutlak
yang melakat pada setiap pemilik harta. Zakat infak, sedeqah dan hasil wakaf
yang diberikan kepada fakir miskin tidak saja sebagai manifestasi tauhid tetapi
juga manifestasi dari persaudaraaan yang diajarkan Islam.
Sebagai salah satu contoh pelanggaran
terhadap konsep ukhuwah adalah sebagai berikut. ”Ketika tingkat bunga menaik,
maka investasi menurun. Untuk menjaga tingkat laba tertentu, maka kapitalis
menurunkan tingkat upah pekerja, akibatnya terjadilah pengangguran. Ketika upah
diturunkan, terjadilah eksploitasi atas buruh (perkerja). Pada tataran ini
prinsip persaudaraan telah dilanggar”.
6. Kerja dan Produktifitas
Dalam Islam bekerja dinilai sebagai
suatu kebaikan, dan sebaliknya kemalasan dinilai sebagai keburukan. Dalam
kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara rinci tentang
etos kerja dalam Islam.
Dalam pandangan Islam bekerja dipandang
sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi
sabilillah.
من كد
على عياله كان المجاهد في سبيل الله عز و جل
Sabda Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras
untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabillah”(Ahmad)
Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah
Saw bersabda :
Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa,
ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat, Sedeqah ataupun haji, namun
hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari Nafkah
penghidupan(H.R.Thabrani)
Dalam hadits ini Nabi Saw ingin
menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga hanya
dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah.
Selanjutnya dalam hadits yang lain, Nabi
bersabda :
Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu
berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu !
إن الله تعالى يحب ان يرى عبده يسعى
فى طلب الحلال
Sesungguhnya Allah Swt senang
melihat hambanya yang berusaha )bekerja) mencari rezeki yang halal.
Berniat untuk bekerja dengan
cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap
muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam. Umar
bin Khatttab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid
tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya.
Umar berkata, Janganlah salah seorang
kamu duduk di mesjid dan bedoa, Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan
ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud
perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha,
bukan hanya bedoa saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.[5]
Buruh yang bekerja secara manual sangat
dipuji dan dihargai Nabi Muhammad Saw meskipun telapak tangannya kasar. Dalam
sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu
tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar akibat bekerja keras.
Nabi seraya berkata :
“Inilah dua telapak tangan yang dicintai
Allah”
Dalam
sebuah hadits Rasul saw bersabda
من بات كالا من طلب الحلال بات
مغفورا له
(رواه احمد و
إبن عساكر)
“Barang siapa pada malam hari merasakan
kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni
Allah”
(Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
اذا
صليتم الفجر فلا تناموا عن طلب الرزق
Apabila kamu telah selesai shalat subuh,
maka janganlah kamu tidur
Hadits ini memerintahkan agar
manusiamenyegerakan bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif.
Bahkan Nabi SAW secara khusus mendoakan orang yang bekerja sejak pagi
sekali
اللهم بارك للأمتي في بكورها
“Ya Allah, berkatilah ummatku yang
bekerja pada pagi-pagi sekali”.
Malas adalah watak yang sangat
bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi pernah berdo’a kepada Allah
agar dilindungi dari sifat lemah dan malas.
اللهم اني أعوذ بك من العجز والكسل
“Ya Allah, Sesungguhnya Aku berlindung
dengan-Mu dari sifat lemah dan malas”
Al-quran mengemukakan kepada Nabi
Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada ummatmu) : “Bekerjalah
!”.
Nabi juga diriwayatkan telah melarang
pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan.
Monastisisme dan asketisisme dilarang
dalam Islam. Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup
menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan
masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan
dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan atau sikap
hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia
atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda,
bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan
keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk
beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri.
Bekerja adalah hak setiap seorang dan sekaligus sebagai kewajiban.
Dalam bahasa Arab, terdapat dua
istilah/pengertian kata haq. Pertama, Haaqun lahu ((حق له yang artinya hak dan kedua
Haqqun ‘alaih (حق عليه) yang artinya kewajiban. Menangkap pesan qurani dan
Nabawi mengenai kerja (amal), ini pengertian wajib lebih mengemuka daripada
pengertian hak. Sebab hak boleh dilakukan boleh tidak. Namun, jika dikaitkan
dengan tanggung jawab Imam (penguasa), pengertian kewajiban sangat relevan.
Karena pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan kesempatan kerja kepada
para individu.
Dalam ekonomi Islam, perspektif kerja dan
produktifitas adalah untuk mencapai tiga sasaran, yaitu :Mencukupi kebutuhan
hidup (الاشباع ), meraih laba yang wajar (الارباح ) dan menciptakan kemakmuran lingkungan sosial maupun alamiyah
( الاعمار )
Ketiga sasaran tersebut harus terwujud
secara harmonis. Apabila terjadi sengketa antara pekerja dan pemodal
(majikan). Islam menyelesaikannya dengan cara yang baik, yakni ada posisi
tawar-menawar antara pekerja yang meminta upah yang cukup untuk hidup
keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan) un\tuk melanjutkan
produksinya.
7. Kepemilikan
Dalam kapitalisme yang menganut asas laisssez
faire, hak pemilikan perorangan adalah absolut, tanpa batas. Terjaminnya
kebebasan memasuki segala macam kegiatan ekonomi dan transaksi menurut
persaingan bebas. Sedangkan dalam marxisme, hak memiliki hanya untuk kaum
proleter yang diwakili oleh kepemimpinan diktator. Distribusi faktor-faktor
produksi dan apa yang harus diproduksi, ditetapkan oleh negara. Pendapatan
kolektif dan distribusi yang kolektif adalah ajaran utama, sedangkan
hubungan-hubungan ekonomi dalam transaksi secara perorangan sangat dibatasi.
Berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme,
dalam ekonomi Islam, pemilikan hakiki hanya pada Allah. (QS. 24:33). Allah
adalah pemilik mutlak (absolut), sedangkan manusia memegang hak milik relatif,
artinya manusia hanyalah sebagai penerima titipan, trustee (pemegang
amanat) yang harus mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Jadi, menurut
ekonomi Islam, penguasaan manusia terhadap sumberdaya, faktor produksi atau
asset produktif hanyalah bersifat titipan dari Allah. Pemilikan manusia
atas harta secara absolut bertentangan dengan tauhid , karena pemilikan
sebenar hanya ada pada Allah semata.
Pandangan ini sangat bertolak belakang
dengan paham kapitalisme yang menganggap harta adalah milik manusia itu
sendiri, karena manusia yang mengusahakannya sendiri. Untuk itu, menurut paham
ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya,
tanpa perlu melihat halal haramnya.
Jika semua sumberdaya di alam semesta ini
sebagai milik Tuhan, maka konsekuensinya adalah setiap individu mempunyai
akses yang sama terhadap milik Allah, karena seluruh alam ini ditundukkan untuk
kemaslahatan seluruh manusia. Sedangkan menurut ekonomi konvensional, usaha
mendapatkan kekayaan, pemanfaatannya dan penyalurannya, tunduk pada wants manusia
itu sendiri, tidak tunduk pada ketentuan syari’at dan qaidah-qaidah
yang ditetapkan Allah.
Pandangan Islam tentang harta (sumberdaya)
juga berbeda dengan sosialisme yang tidak mengakui pemilikan individu. Semua
adalah milik negara. Individu hanya diberikan sebatas yang diperlukan dan
bekerja sebatas yang dia bisa.
Ekonomi Islam membagi tiga jenis
kepemilikan yang harus dibedakan, yakni pemilikan individu, pemilikan umum dan
pemilikan negara. Pemilikan individu diperoleh dari bekerja, warisan,
pemberian, hibah, hadiah, wasiat, mahar barang temuan dan jual beli. Islam
melarang memperoleh harta melalui cara yang tidak diridhoi Allah dan merugikan
pihak lain, seperti riba, menipu, jasa pelacuran, perdagangan gelap, produksi
dan penjualan alkohol/miras, narkoba, judi, spekulasi valuta asing, spekulasi
di pasar modal, money game, korupsi, curang dalam takaran dan
timbangan, ihtikar, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak seorang
pun dapat dibenarkan memperoleh pendapatan dari aktivitas yang telah disebutkan
di atas.
Sedangkan pemilikan umum adalah
barang-barang yang mutlak dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan
juga yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, api (bahan bakar,
listrik, gas, padang rumput (hasil hutan), minyak, sumber mas dan perak, barang
yang tak mungkin dimilik individu, seperti sungai, danau, jalan, lautan, udara,
dan sinar matahari.
Pengelolaan milik umum hanya dimungkinkan
dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan cara diberikan cuma-cuma
atau harga relatif murah dan terjangkau. Dengan cara ini, rakyat dapat
memperoleh beberapa kebutuhan pokoknya dengan cara yang murah yang akhirnya
akan membawa dampak pada kesejahteran rakyat Jalan tol seharusnya semakin murah
dan akhirnya bisa gratis setelah biaya investor dikembalikan dalam jangka waktu
tertentu. Jalan tol sesungguhnya tidak boleh dibisniskan, karena jalan milik
umum. Di negara manapun di dunia ini tarif jalan tol semakin lama semakin
murah. Padahal mereka tidak menganut ekonomi Islamsecara formal. Di Indonesia,
kenyataan berbeda kontras. Hal ini jelas tidak seusia dengan prinsip kepemikian
dalam Islam..
Hak milik umum yang telah dikelola oleh
negara melalui lembaga atau suatu badan usaha, menjadi hak milik negara. Air,
api, rumput, gas, minyak, yang mulanya merupakan hak milik umum, apabila
dikelola negara (dinasionalisasi), maka statusnya menjadi hak milik negara.
Tetapi pemanfatannya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
secara menyeluruh, bukan hanya untuk segelintir para pejabat yang menguasai
perusahaan BUMN/BUMD tersebut.
Baqir Al-Sadr berpendapat bahwa menurut
ekonomi Islam, hak milik pribadi merupakan prinsip fundamental. Sedangkan hak
milik umum merupakan prinsip tab’an (pengecualian). Artinya
setiap manusia memiliki hak asasi secara pribadi terhadap segala sumberdaya
alam, kecuali sumberdaya tertentu, seperti sungai, lautan, udara, api, dsb.
Pandangan ini juga sejalan dengan Sayyid Qutub. Menurutnya, hak milik pribadi
merupakan pokok (ashal), sedangkan hak milik umum merupakan
pengecualian. Sejalan dengan itu, Tahawi mengatakan, negara bisa memberikan
batasan kepada hak milik perorangan, mengaturnya atau menyitanya sesudah
memberikan ganti rugi yang layak.
Siddiqi selanjutnya menuturkan bahwa
perorangan (individu), negara dan masyarakan, masing-masing mempunyai klaim
(tuntutan) atas hak milik berdasarkan prinsip bahwa negara mempunyai yurisdiksi
atas hak-hak peroranganYuridiksi ini walaupun bersifat fungsional, tetapi
pelaksanaannya tergantung pada tata nilai dan tujuan-tujuan yang diajarkan
Islam. Prinsip-prinsip ini membenarkan diadakannya nasionalisasi, pembatasan
luas/jumlah, pengawasan harga barang tertentu dsb.
Berdasarkan prinsip di atas, maka
peneyrahan perushaan minyakj, air tambang mas untykdikelola pihak asing
sesungguhnya bertentangan dengan konsep kepemilikan dalam islam. Block Cepu
misalnya seharusnya dikelola Pertamina. Jika di Peratmina banyak korupsi
sehingga Bolk Cepu rugi, Solusinya bukan menyerahkan block Cepu ke tangan
asing, tetapi praktek korupsi di Pertamina yang harus ditumpas. Jika ada tikus
di lumbung padi, jangan lumbung padinya yang di bakar, tetapi tikusnya yang
diusir dengan siasat dan strategi canggih.
Konsep kepemilikan ini membawa sejumlah
implikasi yang sangat penting yang membawa perbedaan revolusioner dengan sistem
ekonomi lain seperti kapitalisme dan sosialisme.
Pertama, bahwa
sumber daya diperuntukkan bagi semua orang, bukan untuk sebagian kecil manusia
( QS. 2 : 29 ). Sumber – sumber daya itu harus digunakan untuk
kesejahteraan semua orang secara menyeluruh dan adil. Pemusatan kekayaan di
negara-negara kaya secara mencolok adalah realita yang bertentangan dengan
keadilan. Demikian pula penguasaan konglomerat atas jutaan hektar hutan atau
ratusan ribu hektar perkebunan, sehingga terjadi penumpukan asset pada
segelintir tertentu, bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam.
Kedua,
setiap orang harus memperoleh sumber- sumber daya itu dengan cara yang sah dan
halal, bukan cara- cara curang seperti suap dan cara-cara batil lainnya. Firman
Allah, ”Hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu makan harta
sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan
dengan suka rela di antar kamu (QS.4:29).
Ketiga, tidak
seorangpun berwenang menghancurkan atau memboroskan sumber- sumber daya
pemberian Tuhan. Tindakan ini oleh Al- Quran disamakan dengan fasad (
kerasukan, kejahatan dan ) yang dilarang Tuhan ( QS. 2 : 205 ). Karena itu
ketika Abu Bakar, mengirm Yazid bin Sufyan dalam suatu peperangan, ia melarang
Yazid membunuh dengan sembarangan atau merusak kehidupan tumbuh – tumbuhan atau
binatang sekalipun di daerah musuh.
Jika hal ini tidak diizinkan, sekalipun
dalam kondisi perang dan di daerah musuh, maka tidak ada alasan untuk
mengizinkannya pada saat damai dan di negeri sendiri. Dengan demikian, maka
benar- benar tidak dibolehkan menghancurkan dan memusnahkan barang-barang yang
telah diproduksi, sebagai siasat agar harga barang itu tetap tinggi, baik
dengan membakar atau membuangnya kelautan.
8. Kebebasan dan tanggung Jawab
Prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam
ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi. Kedua prinsip tersebut,
masing-masing dapat berdiri sendiri, tetapi doleh beliau kedua prinsip tersebut
digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini dilakukan karena kedua prinsip itu
memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Penyatuan ini juga dimaksudkan agar
pembaca dengan cepat menangkap pengertian kebebasan dalam kajian ini, sehingga
tidak muncul tanda tanya dan kerancuan dalam pikiran tentang makna kebebasan
dalam persepektif Islam[6].
Pengertian kebebasan dalam perekonomian
Islam difahami dari dua perspektif, pertama perspektif teologi dan kedua
perspektif ushul fiqh/falsafah tasyri’.
Pengertian kebebasan dalam perspektif
pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan
yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan
itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk
memikirkan mana yang baik dan yang buruk, mana yang maslahah dan mafsadah (mana
yang manfaat dan mudharat).
Adanya kekebasan termasuk dalam
mengamalkan ekonomi, implikasinya manusia harus bertanggung jawab atas
segala perilakunya. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi bahwa
penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor.
Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan
masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung
mafsadah dan mudharat. Melakukan riba adalah suatu kezaliman besar. Namun ia
melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya i\tu di
hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.
Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia
melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak
logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya. Jadi makna
kebebasan dalam konteks ini bukanlah manusia bebas tanpa batas melakukan apa
saja sebagaimana dalam faham liberalisme. Jadi, kebebasan dalam Islam bukan
kebebasan mutlak[7], karena kekebasan seperti itu hanya akan
mengarah kepada paradigma kapitalis laisssez faire dan
kebebasan nilai (value free).
Kebebasan dalam pengertian Islam adalah
kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah). Dengan
demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima
dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan efisien,
tidak secara otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan kekuatan
pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah -yang dalam Islam-
disebut lembaga hisbah.
Kebebasan dalam konteks kajian prinsip
ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme).
Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar
kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi atas kehendak Tuhan. Dalam faham ini
manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang. Determinisme seperti itu,
tidak hanya merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab
manusia. idak logis manusia diminta tanggung jawabnya, sementara ia
melakukannya secara ijbari (terpaksa).
Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul
fiqh berati bahwa dalam muamalah Islam membuka pintu seluas-luasnya di
mana manusia bebas melakukan apa saja sepajang tidak ada nash yang
melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah, pada dasarnya dalam muamalah
segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya.
Bila diterjemahkan arti kebebasan bertanggng
jawab ini ke dalam dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita aan
mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu ummatnya untuk melakaukan inovasi
apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.
Pertanggungjawaban (masuliayah) yang harus
dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsukensi fungsi kekhalifahan
manusia sebagai kahlifah. Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia
merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setap pemegang amanah harus
bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya.
Pertanggung jawaban, accountability atau masuliyah ditekankan
dengan perintah dari Allah melalui istilah hisab atau
perhitungan di hari pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran
dari akar kata hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan
muhasabah sebagai pertanggungjawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku
kehidupan di dunia ini.
Kepercayaan pada hari kiamat memilki
peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Konsep pertanggungjawaban sudah diterapkan secara sunnatullah
sangat ditekankan dalam Islam, bukan merupakan norma etika umum atau
perundang-undangan negara. Konsep ini mestinya sudah tertanam di masing-masing
indivisu muslim dan tercermin dalam kehidupan masyarakat dan sistem.
Tidak hanya terbatas pada para profesional, akademisi atau pengusaha
saja.
Harus pula dipahami bahwa
pertangggungjawaban tidak hanya terbatas dalam konsep eskatologis, tetapi juga
mencakup proses praktis di dunia ini. Salah satu contohnya adalah kemampuan
analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya apa yang diperintahkan
Allah dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 282, ”Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuslikannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).
9. Jaminan Sosial
Penjelasan sebelumnya telah menjelaskan
bahwa Islam menuntut kepada setiap orang yang mampu untuk bekerja dan
bersungguh-sungguh dalam kerjanya, sehingga ia dapat mencukupi dirinya dan
keluarganya. Namun demikian, beberapa anggota masyarakat ada yang tidak
mampu bekerja, sehingga mereka tidak berpenghasilan. Ada juga yang mampu
bekerja, tetapi tidak mendapatkan lapangan kerja sebagai sumber penghasilan
mereka dan pemerintah sendiri tidak mampu untuk mempersiapkan lapangan kerja
yang sesuai bagi mereka.
Ada pula yang sebenarnya sudah bekerja,
hanya saja pemasukan mereka belum mencukupi standar yang layak, karena
sedikitnya pemasukan (income) atau banyaknya keluarga yang ditanggung
atau mahalnya harga barang atau karena sebab-sebab yang lain. Untuk mengatasi problem
tersebut Islam mengajarkan takaful al-ijtima’iy (jaminan
sosial), melalui isntrumen zakat, infak, sedeqah dan wakaf.
Secara hukum dan moral negara bertanggung
jawab untuk mencukupi kebutuhan pokok masyarakat. Negara pada dasarnya
bertanggung jawab secara tidak langsung terhadap masyarakatnya dan kewajibannya
adalah meringankan dan menghapus penderitaan rakyatnya. Dengan kata lain,
negara hanya bertanggung jawab terhadap kebutuhan pokok masyarakat secara
individu apabila individu itu tidak mampu memperoleh kebutuhan pokok tersebut
dengan usahanya sendiri, tetapi dalam keadaan apapun, negara tidak memberikan
”ikan” sepenuhnya sehingga masyarakat menjadi tidak produktif.[8] Jelas bahwa sistem Islam tidak
membiarkan mereka menjadi miskin dan terlantar, tetapi berupaya mewujudkan bagi
mereka kehidupan yang layak.
10. Nubuwwah
Prinsip ekonomi Islam yang terakhir adalah nubuwwah yang
berarti kenabian. Prinsip nubuwwah dalam ekonomi Islam
merupakan landasan etis dalam ekonomi mikro. Prinsip nubuwwah mengajarkan
bahwa fungsi kehadiran seorang Rasul/Nabi adalah untuk menjelaskan syariah
Allah SWT kepada umat manusia.
Prinsip nubuwwah juga mengajarkan
bahwa Rasul merupakan personifikasi kehidupan yang yang baik
dan benar. Untuk itu Allah mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul terakhir
yang bertugas untuk memberikan bimbingan dan sekaligus sebagai teladan
kehidupan (Al-Ahzab : 21). Sifat-sifat utama yang harus diteladani oleh
semua manusia (pelaku bisnis, pemerintah dan segenap manusia) dari Nabi
Muhammad Saw, setidaknya ada empat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fatanah.
a. Siddiq, berarti jujur dan benar. Prinsip ini harus melandasi
seluruh perilaku ekonomi manusia, baik produksi, distribusi maupun konsumsi.
Pada zamannya, ia menjadi pelopor
perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan
sehat, sehingga ia digelar sebagai al-amin. Ia tak segan-segan
mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statemen yang tegas
kepada para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara, perangkat
hukum beserta reward dan punishmentbenar-benar ditegakkan kepada para pelaku
bisnis yang tidak jujur/benar.
shiddiq dapat
dijadikan sebagai modal dasar untk menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Dua prinsip yang oleh Peter Drucker merupakan indikator kesuksesan sebuah
perusahaan.
Dalam dunia perbankan, lembaga keuangan
dan bisnis syariah saat ini prinsip shiddiq, mestinya menjadi
sesuatu yang membedakan LKS dan bisnis syariah dengan lembaga keuangan dan
bisnis konvensional, dimana bisnis dalam syariah dilakukan dengan
moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Dengan ini pengelolaan harta
dan dana masyarakat dilakukan dengan mengedepankan cara – cara yang halal serta
menjauhi cara – cara yang meragukan ( syubhat ) terlebih lagi yang bersifat
larangan ( haram ).
2. Amanah, berarti dapat dipercaya, profesinal, kredibiltas dan
bertangunggung jawab. Sifat amanah merupakan karakter utama seorang
pelaku ekonomi syariah dan semua umat manusia. Sifat amanah menduduki posisi
yang paling penting dalam ekonomi dan bisnis. Tanpa adanya amanah perjalanan
dan kehidupan ekonomi dan bsinis pasti akan mengalami kegalagan dan
kehancuran. Dengan demikian setiap pelaku ekonomi Islam mestilah menjadi orang
yang profesional dan bertanggug jawab, sehingga ia dipercaya oleh masyarakat
dan seluruh pelanggan.
Dalam dunia perbankan dan LKS yang
berkembang saat ini sifat amanah menjadi kunci sukses ekonomi syariah di masa
depan. Jika pelaku ekonomi syariah saat ini menciderai gerakan ekonomi syariah
dengan sifat dan praltek non-amanah (seperti tidak profesional, tidak
bertanggung jawab dan tidak kredible, maka selueuh masyarakat akan kehilangan
kepercayaan terhadap lembaga yang bernama ”syariah” tersebut.
3. Tablig, adalah komunikatif, dan transparan, dana pemasaran
yang kontiniu. Para pelaku ekonomi syarah harus memiliki kemampuan komunikasi
yang handal dalam memasarkan ekonomi syariah. Dalam mengelola perusahaan,
para manajemen harus transparan. Demikian pula dalam melakukan pemasaran,
sosialisasi dan edukasi harus berkesinambungan Dalam melakukan
sosialisasi, sebaiknya tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah
semata, tetapi juga harus mampu mengedukasi masyarakat mengenai manfaat
bagi pengguna jasa perbankan syariah. Tabligh juga berarti bahwa pengelolaan
dana dan keuntungannya harus dilakukan secara transparan dalam batas – batas
yang tidak mengganggu kerahasiaan bank.
4. Fathonah, berarti
kecerdasan dan intelektualitas fathanah mengharuskan kegiatan ekonomi dan
bisnis didasarkan dengan ilmu, skills, jujur,benar,kredible dan bertanggung
jawab dalam berekonomi dan berbisnis. Para pelaku ekonomi harus cerdas dan kaya
wawasan agar bisnis yang doijalankan efektif dan efisien dan bisa memenasngkan
persaiangan dan tidak menjadi korban penipuan. Dalam dunia bisnis sifat fatanah
memastikan bahwa pengelolaan bisnis, perbankan atau lembaga bisnis apa saja
harus dilakukan secara smart dan kompetitif, sehingga menghasilkan keuntungan
maksimum dalam tingkat risiko yang rendah.
Untuk mengakhiri topik ini, maka berikut
akan disampaikan mengenai intisari dari perbedaan antara sistem ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi kapitalis:
PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI
KAPITALISME
Aspek
|
Islam
|
Kapitalisme
|
Sumber Ide /pemikiran
|
Allah
|
Manusia
|
Sumber
|
Alquran dan hadits
|
Daya Pikir Manusia
|
Motif
|
Ibadah
|
Rasional materialisme
|
Paradigma
|
Syariah
|
Pasar
|
Tujuan
|
Falah dan Maslahat
|
Utilitarian, individualisme
|
Filosofi Operasional
|
Keadilan, kebersamaandan Tanggung Jawab
|
Liberalisme, Laisez Faire
|
Kepemilikan harta
|
Milik absolut pada Allah, manusia adalah penerima amanah, pemilik relatif
|
Hak milik absolut pada manusia
|
Sistem Investasi
|
PLS
|
Bunga
|
Sistem Distribusi
|
Mekanisme pasar dengan nilai2 ( termasuk Zakat, Infak, sedekah, wakaf)
|
Sistem Pasar
|
Prinsip Jual beli
|
Melarang gharar, maysir, riba dan barang-barang haram
|
Tidak ada larangan
|
Motif Konsumsi
|
Kebutuhan
|
Keinginan
|
Tujuan Konsumsi
|
Kemaslahatan
|
Memaksimalkan utility
|
Motif untuk Produksi
|
Kebutuhan dan kewajiban manusia
|
Ego dan rasionalisme
|
Hubungan antar pelaku bisnis sejenis
|
Ukhuwah
|
Persaingan
|
Perputaran Uang
|
Real based ekonomi
|
Monetary based ekonomi
|
Keterkaitan sektor riil dan moneter
|
Sangat terkait satu dan lainnya
|
Terpisah
|
Instrumen Moneter
|
Bagi hasil, jual beli, ijarah
|
Riba
|
Indikator keberhasilan ekonomi
|
Pertumbuhan dan pemerataan
|
Pertumbuhan ekonomi
|
Prinsip Pengeluaran
|
Berdasarkan 3 tingkatan mashlahah (dharuriah, Tahsiniyah dan Hajjiyah)
|
Tidak memperhatikan prioritas mashlahah
|
Sumber keuangan negara
|
Zakat, Infak, sedekah, usyr, dharibah, kharaj, pajak kondisional.
|
Pajak
|
Sasaran Penerima
|
Pada zakat ditentukan 8 ashnaf
|
Tanpa melihat ashnaf
|
Tujuan Pembangunan
|
Memprioritaskan pengentasan kemiskinan
|
Kemajuan semata
|
Dampak
|
Sarana menciptakan keadilan ekonomi
|
Kesenjangan
|
Drs. Agustianto, MA, lahir di Medan, 17
Agustus 1967. Menamatkan pendidikan S1 tahun 1992, di Falkultas
Syari’ah IAIN-SU (Skripsinya tentang Ushul Fiqh Muamalah) dengan predikat
summa cum laude dan meraih prestasi sebagai wisudawan terbaik di tahun 1992.Â
Pendidikan S2 Konsentrasi Syariah (Thesis : Ushul Fiqh Asy-Syatibi)Â
IAIN-SUÂ ditammatkannya tahun 1997. Di Program ini beliau juga meraih
WISUDAWAN terbaik dengan predikat Cum Laude.
Saat ini (2004) beliau sedang menempuh
pendidikan S3 Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sejak tahun 1993 beliau telah menjadi
dosen perbankan dan lembaga keuangan Islam dalam mata kuliah fiqh muamalah III
di IAIN-SU. Selain mata kuliah tersebut beliau mengajarkan Ushul Fiqh
Perbandingan Mazhab. Sejak tahu 1997 sd 2004 menjadi Ketua Program D3 Manajemen
Bank Syariah di Fakultas Syariah IAIN-SU. Tahun 1997 beliau aktif mendirikan
ratusan BMT di Sumut melalui PINBUK. Pada tahun 2000 menjadi advisor Bank
Muamalat Regional 2 (Sumut, Aceh, Pekanbaru, Padang). Tahun 2005 menjadi
Advisor Bank Muamalat di Pusat untuk seluruh Indonesia
Pada tahun 2005 beliau dipercaya menjadi
Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia. (IAEI)
Kini, Agustianto banyak mengajar di
berbagai program Pascasarjana Ekonomi Islam di Jakarta : seperti di
Pascasarjana PSTTI UI Kekhususan Ekonomi dan keuangan Islam,Â
Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti, Pascasarjana
Manajemen Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Paramadina, Pascasarjana
Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Az-Zahra, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Prof.Dr.HAMKA, dsb.
Mata kuliah yang beliau ajarkan al; 1.
Fiqh Muamalah Perbankan dan Keuangan, 2. Ushul Fiqh Ekonomi, 3. Ayat dan Hadits
Ekonomi Keuangan , 4. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 5. Politik Perbankan
Syariah, 6. Ekonomi Pembangunan Islami, 7. Ekonomi Mikro-Makro Islami. 8.
Manajemen Zakat dan Waqaf
Selain aktif memberikan seminar, training
dan workshop, beliau juga sebagai Advisor Bank Muamalat Indonesia (BMI)
 dan hampir setiap jumat mengkhutbahkan ekonomi Islam dan bank syariah
kepada jama’ah-jamaah  masjid.
[1]Penyebutan kata keadilan dalam Al-Quran
tidak saja menggunakan akar kata ‘adil tetapi juga al-mizan dan al-qist,
[2] Tidak terhitung pula hadits Nabi yang
menjelaskan ukhuwah dalam kehidupan manusia, di antaranya, Hendaklah kamu
menjadi hamba-hambaku yang bersaudara.
[3]Diriwayatkan dalam hadits, bahwa Ali bin
Abi Thalib dan keluarganya dalam kesulitan makanan. Keluarganya terdiri dari
istrinya Fatimah, 2 anaknya Hasan dan Husein serta seorang pembantunya bernama
Handhah. Ali bekerja pada hari itu agar bisa membeli makanan. Dari hasil
perkerjaannya ia mendapatkan lima potong makanan untuk berbuka puasa pada hari
itu. Dipandang dari dari segi kebutuhan makanan, 5 potong makanan (roti)
tersebut sangat dibutuhkan mereka untuk berbuka puasa. Namun beberapa saat sebelm
berbuka datang seorang miskin yang kelaparan yang meminta sepotong
makanan. Kemudian Ali memberikanya. Selanjutnya datang pula anak yatim yang
juga kelaparan. Mereka juga memberikannya. Terakhir datang pula seoranag
tawanan perang asal Yahudi, Mereka juga memberikan sepotong makanan untuknya.
Kini mereka berlima hanya tersisa 2 potong roti. Mendengar cerita ini hati Nabi
Saw terenyuh. Selanjutnya turunlah ayat yang menjelaskan dan memuji sikap
altruisme Ali dan keuarganya. Firman Allah, ”Mereka memberikan makanan
yang sangat mereka butuhkan kepada orang miskin, anak yatim dan seorang
tawanan, mereka tidak membutukan ucapan terima kasih dari manusia, tetapi
mereka melaksakan semua itu, semata-mata karena mengharap ridha Allah”. Inilah
ajaran altruisme Islam yang sama sekali tidak diajarkan dalam sistem ekonomi
manapun. Semua ini sebagai realisasi konsep tawhid dan ukhuwah yang diajarkan
Islam.
[4] Lihat Umer Chapra, The Future of
Economics, 2001
[5] Lihat Buku Fikih Ekonomi Umar
[6] Dalam berbagai forum baiuk di kelas
maupun seminar, para peserta sering minta penjelasan tentang pengertian
kebabasan dalam prinsip ekonomi Islam dan mereka sering memahaminya secara
salah. Bahkan tidak saja para pminat ekonomi islam, dalam buku ajar yang
populer din Indondia sebagaimana yang ditulis Adiwarman Karim dalam buku
Ekonomi Mikro Islami (2002). Pengertian dan penjelasan kekabasan sama sekalai
jauh dari pengertian sesungghnya. Artinya, penjelasannya tentang prinsip
kekabasan menyimpang dari pengetian yang dimaksudkan para ahli ekonomi Islam
dan ulama.
[7] Dalam filsafat materialisme Barat
yang diajarkan Filosoof Jean Paulk Sarter,’ Manusia ditakdirkan bebas,
Tuhan tidak ada”. Kekebasan manusia tidak terbatas dan bersifat mutlak.
Tidak ada nilai-nilai yang transenden yang ditetapkan untuk umat manusia, tidak
hukum Tuhan dan tidak teori Palto fan filosof Yuanoi lainnya. Satu-satunya
fondasi untuk nilai0nilai adalah kebabasan manusia itu sendiri. (Jean Paul
Sarter, Beingg and Nathingness dalam, Anthony Manser, Sharter : A
Philosopic Study, 1966.
[8]Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi
Islam Jilid 1, hal.140
Diambil dari materi Drs.Agustianto.MA Ketua
I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Fikih Muamalah Ekonomi
Pascasarjana Universitas Indonesia