rohmans

PARADIGMA EKONOMI ISLAM

  A.      Pengertian Paradigma Sistem ekonomi Islam terlahir dari sebuah paradigma -- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan s...

 A.    Pengertian Paradigma

Sistem ekonomi Islam terlahir dari sebuah paradigma -- menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kerangka berfikir -- Islam berupa pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dunia, sebelum dunia dan kehidupan setelahnya serta kaitan (hubungan) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudahnya. Misalnya, tentang bagaimana manusia harus mencari nafkah, mencukupi kebutuhannya, bagaimana pula cara memanfaatkan hartanya dan sebagainya.
            Paradigma sebagai sebuah sistem berfikir yang paling mendasar bagi sebuah tatanan kehidupan bagaikan inti dari sebuah barang, akar dari sebuah pohon atau fondasi dari sebuah bangunan. Jadi sangat menentukan, bahkan ia merupakan pusat dari daya hidup sistem yang terlahir darinya. Maka, tak akan ada pohon tanpa akar, bangunan tanpa pondasi, dan tidak ada sistem, termasuk sistem ekonomi, tanpa paradigma. 

Paradigma ekonomi baru ini dapat lebih diterima oleh masyarakat melalui berbagai pembuktian empirik yang diciptakan, melalui tangan-tangan para akademisi, bankir dan para profesional lainnya yang senantiasa dikawal oleh para alim-ulama dan fuqaha yang memahami berbagai masalah agama.
Materi kajian dan diskursus ekonomi Islam telah sampai pada pencarian format baru dalam sistem keuangan Islam, pembentukan berbagai infrastruktur perbankan Islam, metode perhitungan dan penarikan zakat yang tepat untuk seluruh kategori pembayar zakat yang berbeda-beda, berbagai model pembelanjaan secara Islam dan sebagainya. Jadi bahkan lebih dari sekedar metodologi dan paradigmanya.
Sebelum membicarakan paradigma ekonomi Islam, ada baiknya mendiskusikan lebih dahulu tentang paradigma keilmuan secara umum.


Ilmu ekonomi selama berabad-abad mewarisi paradigma dan pandangan dunia yang sekular, yang dibangun oleh para pemikir Barat melalui proses panjang yang dinamakan Aufklarung atau Enlightenment, yaitu proses pencerahan peradaban masyarakat (Barat) dari yang sebelumnya “terbelakang” menjadi lebih “maju” dan “modern”. Paradigma atau aslinya paradigm, adalah sebuah konsep yang ambigous,[1] ketika pertama kali dilontarkan oleh Thomas Kuhn dalam tulisannya yang cukup terkenal, The Structure of Scientific Revolution memiliki pengertian yang beragam, bahkan menurut Kuhn sendiri.
Hal ini paling tidak tampak dalam tulisan Redman, Economics and the Philosophy of Science, term tersebut ditemukan dalam 21 pengertian yang berbeda. Akan tetapi satu pengertian dasar dari term ini, bahwa Kuhn memperkenalkan suatu konsep yang mendasar, dan diperlukan sebagai prasyarat dalam rangka sebuah pengembangan ilmu pengetahuan didasarkan pada pencapaian-pencapaian ilmiah sebelumnya. Dengan demikian, apabila terjadi ketidak-sinambungan dalam pengembangan ataupun perkembangan ilmu pengetahuan, ia dapat dibenarkan dengan merujuk pada istilah paradigm shift, yang lebih jauh lagi memungkinkan terjadinya revolusi ilmiah, sebagaimana judul buku karya Kuhn tersebut.
B.     PARADIGMA ILMU EKONOMI
Sejumlah kalangan mungkin tidak sepakat dengan pemakaian istilah tersebut dalam ekonomi Islam karena muatan yang terkandung di dalamnya lebih bersifat materialistik, meskipun tidak jelas pula solusinya. Terlepas dari pro-kontra terhadap muatannya, dan dari benar-benar difahami atau tidaknya, istilah tersebut menjadi komoditas yang enak dikonsumsi di kalangan intelektual, khususnya intelektual muda.
Andai pengertian umum seperti di atas dapat diterima, maka paradigma ekonomi Islam dapat saja menjadi istilah bagi perkembangan baru ilmu dan sekaligus sistem ekonomi yang secara internasional telah diterima menjadi satu “varian” yang boleh jadi, dan boleh jadi juga tidak, akan mengancam eksistensi ilmu dan sistem ekonomi konvensional dalam jangka panjang nanti. Untuk pengertian ini kita dapat menoleh kembali sejarah kegemilangan masa lalu Islam, ketika terjadi transformasi “ilmiah” dari “Muslim Spanyol” ke Eropa Barat sekitar abad 12 dan 13, misalnya untuk menyebut salah satu yang memiliki kaitan erat dengan munculnya paradigma baru ketika itu, yaitu sistem ekonomi kapitalis Barat.
 Ketika itu, akibat peralihan kekuasaan dari Muslim ke Kristen, terjadi suatu transformasi nilai-nilai sosial dari moralitas Islam yang merintis jalan ke sekularisasi. Sekularisme sendiri sebenarnya tidak berniat untuk menanggalkan baju moralnya,  masyarakat ilmiah di lingkungan Kristen-lah yang mencoba mengelak dari nilai moralitas ajaran mereka atas nama perkembangan intelektual, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, menurut Kenneth Lux,[2] datanglah Adam Smith yang “membuang moralitas untuk menemukan ekonomi”. Fenomena ini memang telah mendapatkan pengesahan sejarah melalui tonggak-tonggaknya yang paling penting yaitu “The Enlightenment”; revolusi ilmiah; revolusi industri; dan imperialisme-kolonialisme ekonomi serta berbagai bentuk kelembagaan lainnya hingga sekarang.
Sejak saat itulah terjadi divergensi dalam pemikiran dan praktek ekonomi secara sistemik, antara Islam dan kapitalisme. Yang kedua kemudian menjadi mainstream dan terpecah lagi secara garis besar dengan lahirnya sosialisme, masing-masing mempersiapkan perangkat paradigmanya untuk membangun institusi sosial dan politik dalam rangkaian penguatan sistem-sistem ekonomi tersebut. Jadi dengan kata lain ilmu ekonomi sekular modern, kapitalisme maupun sosialisme, adalah sebuah fenomena penyimpangan dari ekonomi Islam, dan bukan sebaliknya.
Akankah kecenderungan saling mendekat antara kapitalsime dan sosialisme melalui beberapa fenomena termasuk campurtangan pemerintah seperti diawali oleh Keynes menghadapi depresi besar di Eropa dan Amerika tahun tigapuluhan; yang kemudian disusul praktek sosialisme pasar di Cina misalnya, Sovyet (Rusia) dan negara-negara Eropa Timur, dan kemudian dilengkapi dengan introduksi kembali konsep-konsep Islam semisal mudharabah, musyarakah, dan sebagainya ke dalam sistem kapitalsime yang telah relatif mapan, akan membawa pada konvergensi kembali sistem-sistem ekonomi menjadi suatu sistem yang lebih dinamik dan adil?.
Andai fakta historis ini terus berlangsung, maka formulasi baru ilmu (dan juga sistem) ekonomi Islam harus, bahkan mutlak, memperhatikan metodologi usul fiqh yang telah ada sejak berabad-abad, untuk menyimak perkembangan fenomena ekonomi sekarang ini. Tampaknya peminjaman alat analisis melalui model yang dikembangkan dari teori ekonomi sekular (terutama kapitalisme dan lebih khas lagi neoklasikal), dalam batas tertentu dapat dibenarkan melalui peninjauan ulang terhadap, atau dengan membongkar, bangunan asumsi dasarnya. Bagaimanapun kapitalisme (dan juga deviannya: sosialisme) adalah lahir dari proses yang sama, yaitu divergensi sejarah perekonomian Islam dengan cara membuang nilai moral yang amat dijunjung tinggi oleh Islam.

C.    PARADIGMA ISLAM

Menurut keyakinan Islam yang bersumber dari wahyu, alam semesta, manusia dan kehidupan merupakan ciptakan Allah, tidak maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia (ma qabla hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Allah lah dzat yang menciptakan alam semesta ini. Menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah. Manusia hidup dalam kurun waktu tertentu kemudian mati, dan akan kembali kepada-Nya (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un). Ia bukan hanya sekadar kehidupan, tapi – seperti kata al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din – merupakan tempat bertanam untuk dituai hasilnya nanti di akhirat (al-dunya mazra’atu al-akhirah).”

Keimanan kepada Allah dan ketundukan kepada syariat-Nya merupakan pintu satu-satunya untuk menggapai kebahagiaan yang kekal di akhirat. Maka, syariat dalam kehidupan seorang muslim bersifat sentral. Ia bukan hanya dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah untuknya, tapi secara operasional juga merupakan pemecah problema kehidupan manusia. dalam setiap aspek.


Dari paradigma utama di atas, bisa dibuat paradigma turunan (derivat) untuk berbagai aspek dalam ekonomi, di samping dengan paradigma itu juga mampu menyelesaikan sejumlah dikotomi yang selama ini terjadi dalam sistem ekonomi yang berjalan, di antaranya:


Paradigma Kepemilikan


            Islam memiliki paradigma yang khas tentang kepemilikan harta. Bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Allah (24:33). Dan harta yang dipunyai manusia sesungguhnya merupakan pemberian dari Allah yang dikuasakan kepadanya (57:7). Kata rizki sendiri artinya memang pemberian (‘atho`). Oleh karenanya, harta semestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah, yang memiliki harta itu. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa di alam akherat nanti Allah akan menanyai manusia 4 hal: tentang umur, badan, ilmu dan harta. Menariknya, untuk tiga hal pertama hanya ditanyakan satu perkara: untuk apa dimanfaatkan. Tapi menyangkut harta ditanyakan dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan. Di sinilah pentingya Islam mengatur masalah kepemilikan (macam kepemilikan, sebab-sebab didapatkannya kepemilikan), pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara manusia.

 Pandangan Islam berbeda dengan paham kapitalisme, yang menganggap harta sepenuhnya adalah milik manusia karena manusia yang mengusahakan, dan oleh karenanya manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya. Dari pandangan ini muncul falsafah hurriyatu al-tamalluk (kebebasan kepemilikan), yang dianggap bagian dari hak asasi manusia. Menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan hartanya. Pandangan Islam juga berbeda dengan sosialisme, yang kebalikan dari sistem kapitalisme, tidak mengakui kepemilikan individu. Sosialisme mematikan kreatifitas manusia. Dimensi individual dan motif-motif manusiawi dihilangkan. Akibatnya, dorongan pencapaian pribadi menjadi tidak ada. Tidak ada gairah kerja, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan secara drastis produktivitas masyarakat secara umum.

Paradigma Uang


Islam membedakan antara money (uang) dengan capital (modal). Money sebagai public goods adalah flow concept, sedang capital  sebagai private goods adalah stock conceptMoney adalah milik masyarakat, maka  penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) dilarang karena akan mengurangi jumlah uang beredar. Bila diibaratkan dengan darah, maka perekonomian akan kekurangan darah atau mengalami kelesuan alias stagnasi. Semakin cepat money berputar dalam perekenomian maka akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Maka, uang harus dibelanjakan. Kalau tidak, sebagai private goods, dana itu diinvestasikan, dishadaqahkan atau dipinjam(qard)kan tanpa memungut riba, dikeluarkan zakatnya dan dilarang untuk modal judi. Secara makro, langkah-langkah itu akan membuat velocity of money akan bertambah cepat. Ini artinya tambahan darah baru bagi perekonomian secara keseluruhan. Ganti dengan ungkapan al-Ghazai


Bagi yang tidak dapat memproduktifkan capital-nya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan syirkah, yakni berbisnis dengan prinsip bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengalami risiko dalam syirkah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard. Tapi dengan qard jangan mengharap keuntungan. Karena keuntungan hanya berhak bagi mereka yang bersiap menanggung rugi.


Islam tidak mengenal motif money demand for speculation, karena spekulasi (maysir) dilarang. Dan kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta (capital) sebagai obyek zakat. Konsep ini  jelas sangat berlawanan dengan konsep konvensional, dimana money (dan juga capital) dipandang semua sebagai private goods. Baik diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, capital  harus menghasilkan uang. Dalam kenyataannya, “investasi” di sektor bukan produksi (sektor non riil), cenderung terus meningkat jauh melampaui uang yang beredar di sektor produksi.



Antara Kepentingan Individu dan Kolektif


Al-Ghazali dalam kitab al-mustasfa fi ushul al-Fiqh, menyatakan bahwa syariah adalah mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia ( maslahah), dan sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat; bukan manusia sebagai individu serta bukan pula yang terasing atau individu yang hidup dalam masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apa pun. Jadi, ekonomi bagi manusia bukan bagi individu, dan bagi masyarakat bukan bagi kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia, tapi menjadikannya dua hal yang berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat secara bersamaan.



Antara Kebutuhan Material dan Pemenuhan Hasrat Spiritual


Sistem ekonomi Islam adalah juga sebuah sistem yang memiliki nilai ruhiah, karena secara inheren sekiranya dilaksanakan, otomatis terkandung pula ketundukan kita sebagai seorang muslim kepada Sang Khaliq, karena sistem itu memang datang dari-Nya. Dalam sistem ekonomi Islam, dikotomi antara pemenuhan kebutuhan material di satu sisi dengan kepuasan spiritual di sisi lain yang selama ini dirasakan dalam kegiatan ekonomi kapitalistik, tidak akan terjadi. Kegiatan dalam sistem ekonomi sekuler tersebut memang tidak berbasis syariah, malah kadang bertentangan dengan syariah, sementara secara fitri manusia memerlukan kepuasan spiritual yang terujud dalam ekstase ruhani saat dia merasa mendapatkan keridhaan Sang Pencipta dalam setiap aktivitas hidupnya. Ketika seorang muslim berdagang misalnya, atau negara mengelola sumber daya alam, dan itu dilakukan sesuai syariah, maka disamping mendapatkan   keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual.

Konsep Kelangkaan
Pandangan dunia merupakan konsep yang berasal dari Barat pula, berkembang secara mekanik, evolusioner sehingga menemukan citranya yang sekarang. Ia adalah komponen penting dalam pembentukan suatu sistem, tak terkecuali ilmu pengetahuan. Ia amat menentukan arah sistem tersebut. Dalam proses pembentukannya ia bekerja secara gradual dan simultan dengan perkembangan kenyataan dunia. Sejarah menyatakan bahwa sekalipun dalam suatu masa terdapat beberapa paradigma pandangan dunia, pada hakikatnya hanya ada satu saja yang dominan, yang kian lama semakin kokoh dan memperoleh penegasan visi dan bentuknya.
Paradigma pandangan dunia, demikian dua istilah tersebut dapat disatukan, bersama dengan kenyataan dunia, menjadi elemen penting dalam sebuah pusaran roda raksasa dengan kekuatan yang luar biasa (gigantic power) bersama epistemologi atau teori pengetahuan sebagai titik pusatnya. Epistemologi mendefinisikan pengetahuan, menentukan wataknya, membedakan variasi-varisasinya, dan menetapkan batas-batas kriterianya.
Paradigma pandangan dunia dominan yang berkembang hingga saat ini adalah hasil dari enlightenment sebagai telah disinggung di atas, melalu jari-jemari para filsuf dan ilmuwan Barat. Ia sampai pada keyakinan bahwa satu-satunya kebenaran adalah kebenaran ilmiah.
Pandangan dunia dalam definisi ekonomi konvensional menempatkan Tuhan pada wilayah yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain yang lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya ekonomi. Dia tidak ada campur tangan apapun  dalam urusan manusia, terutama menyangkut persoalan materi. Oleh karenanya pengejaran materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi  ilmu ekonomi sekular, yang oleh Adam Smith dan diikuti pula oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai  the wealth  atau well-being yaitu kesejahteraan; dan oleh Lionel Robbins sebagai the means, sarana dan sekaligus, dengan nilai yang mungkin lebih tinggi, sebagai the ends atau tujuan.[3]
Rasionalitas sebagai konsekuensinya menuntut pemaksimalan keinginan (wants) akan kepuasan material sebagai “nilai” yang harus dicapai. Dengan inilah seperangkat asumsi dalam ilmu ekonomi dibangun. Ilmu ekonomi sebagaimana Robbins definisikan, the science which studies human behaviour as a relationship between ends and scarce means which have alternative uses,[4] menggambarkan “keserakahan” manusia terhadap kepuasan material dalam jumlah besar (multiple ends[5] dengan alternative uses) yang ingin dicapai dalam situasi sumberdaya yang amat terbatas. Keterbatasan ini digambarkan dengan sarkastik oleh Robbins, mewakili seluruh pikiran sekular, sebagai “kekikiran alam”, nature is niggardly.[6]
Pernyataan ini dalam dunia yang (semestinya) tidak sekular, misal bagi dunia Muslim, berimplikasi bahwa Tuhan bersifat kikir dan bakhil terhadap manusia. Disinilah konsistensi sekularisme untuk tetap menempatkan Tuhan pada “domain”-Nya, dan disinilah persoalan menjadi amat serius karena ummat Islam secara doktrinal tidak meyakini adanya pemisahan tersebut.
Kekikiran alam ini dalam perspektif sekular, masih mengikuti Robbins, membangun  asumsi-asumsi yang disebut teori penilaian subjektif yang dengannya setiap keinginan individual dengan berbagai kepentingannya diatur dalam urutan tertentu, dan diturunkan secara teoretik kedalam, misalnya, fungsi produksi sehingga dapat dideskripsikanlah sebuah hukum yaitu the Law of Diminishing Returns.[7] Dalam hal ini dinyatakan  bahwa secara inisial tanah sebagai faktor produksi adalah bersifat tetap, karena pemakaian yang terus-menerus, lama-kelamaan “kekikiran alam” ini makin bertambah.

ILMU EKONOMI ISLAM: SEBUAH PARADIGMA BARU

 Bila kita merujuk pada doktrin Islam dalam diskusi di atas, kita akan dihadapkan pada sebuah kesulitan untuk mencari istilah, andai ini menjadi titik tekan diskusi kita, yaitu istilah tentang paradigma ilmu ekonomi Islam kita disebut sebagai paradigma baru atau paradigma asal. Ia dapat dinyatakan baru karena memperbarui yang telah usang dengan menyuntikkan semangat eksplorasi ilmiah yang baru berdasarkan formulasi sintesis atas metodologi usul-fiqh dengan metodologi ilmu ekonomi konvensional. Sebaliknya ia juga dapat dinyatakan sebagai paradigma asal mengingat kita kembali pada sistem etik ekonomi Islam yang telah dikembangkan para pendahulu kita beberapa abad yang lampau, sama sekali tanpa mengurangi makna suntikan semangat ilmiah yang baru dari metodologi ilmu ekonomi konvensional.
Persoalan muncul ketika sistem ekonomi yang dominan saat ini berorientasi pada materialisme dan ditopang oleh mapannya landasan teoretik ilmu ekonomi yang kuat, dilengkjapi dengan asumsi-asumsi yang tak mudah dipatahkan.
Secara metodologis ada dua isu mendasar yang muncul, pertama, tentang bagaimana kita mendefinisikan ilmu (dan sistem) ekonomi Islam, berimplikasi pada munculnya pertanyaan tentang sejak kapan ilmu (dan sistem) ekonomi Islam berlangsung, yang telah terjawab dengan singkat di bagian atas.
Kedua, konsekuensinya, tentang bagaimana menurunkan ketentuan Syari’ah menjadi alternatif solusi bagi perkembangan ekonomi modern. Apakah untuk kasus ilmu ekonomi, kemudian Islamisasi merupakan jalan penyelesaian yang tepat, dan bagaimana bentuknya.
Ini bukanlah isu yang sederhana, sehingga tidak mungkin tulisan sesingkat ini mampu menyediakan pembahasan yang luas. Namun demikian bukan berarti harus ditinggalkan begitu saja, melainkan disentuh secukupnya.
Dan bila proses Islamisasi merujuk pada prosedur tentang peng-Islaman ilmu pengetahuan sampai ke akar-akarnya, sekalipun melalui mata-rantai proses yang amat panjang, maka Islamisasi adalah sebuah kemestian yang tak dapat dapat ditunda. Sebaliknya bila Islamisasi ternyata hanya akan lebih menempatkan Islam sebagai alat justifikasi atas praktek-praktek ekonomi yang ada, Islamisasi tidak ada manfaatnya. Keduanya memiliki konsekwensi yang amat berbeda, dan keduanya juga memiliki kecenderungan bagi keberlangsung-annya.





[1] Lihat Deborah A. Redman, Economics and the Philosophy of Science, (Oxford University Press, New York, 1991),. 16, dikutip dari Margareth Masterman, The Nature of Paradigm,” dalam Imre Lakatos dan Alan Musgrave, Criticism and the Growth of Knowledge, (Cambridge University Press, London, 1970),. 59-89.
[2] Kenneth Lux dalam Adam Smith’s Mistakes, menyoroti posisi moral diatas kepentingan pribadi sebagaimana dilakukan oleh Adam Smith,  dalam Theory of  Moral Sentiments dan menggantinya dengan “amoral invisible hand” bagi pemenuhan self-interest dan persaingan, dalam The Wealth of Nation.

[3] Kritik Robbins terhadap definisi Marshall yang amat berbau “materialist”, tampak dalam The Nature and Significance of Economic science, lihat dalam Hausman, Ibid, halaman 83-110, namun dia sendiri tetap tidak beranjak dari solusi yang materialistik, dalam “ketidak-jelasan” ends yang harus dicapai melalui the scarce means.
[4] Ibid, halaman 85.
[5] Loc.cit
[6] Ibid, halaman 84.
[7] Ibid, halaman 88-96.

Follow Us

Profile

About Me
Dr. Abdurrohman S.Ag. M.EI
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ilmu Keislaman, Universitas Trunojoyo Madura. . Selengkapnya

Total Pageviews

Recent Posts

Random

Comments

Contact Us

Name

Email *

Message *

Populer

item