MENYOAL KENAIKAN HARGA BBM DAN SOLUSI EKONOMI ISLAM - Tulisan Pertama
Harga BMM naik lagi, naik lagi, mengingkatkan lagu “ naik-naik kepuncak gunung tinggi tinggi sekali” sekali naik yang tinggi sekalian, s...
https://rohman-utm.blogspot.com/2018/07/menyoal-kenaikan-harga-bbm-dan-solusi.html
Harga BMM naik lagi, naik lagi, mengingkatkan
lagu “naik-naik kepuncak gunung tinggi tinggi sekali” sekali naik
yang tinggi sekalian, semoga tidak demikian. PT
Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax Cs
mulai 1 Juli 2018 pukul 00.00 WIB. Harga
Pertamax naik Rp 600 menjadi Rp 9.500 per liter. Kemudian harga Pertamax Turbo
naik Rp 600 menjadi Rp 10.700 per liter. Sementara harga Pertamina Dex naik Rp
500 menjadi Rp 10.500 per liter. Harga Dexlite naik Rp 900 menjadi Rp 9.000 per
liter. Artinya kenaikan harga BBM selama 2018 sudah 4 empat kali. Sungguh luar
biasa.
Menurut Pemerintah menaikan
harga BBM akan memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, bagi masyarakat akan
menjadi beban besar yang sangat berat. Kedua kubu ini tentu masing-masing
memiliki alasan yang saling mempertahankan. Oleh sebab itu, butuh solusi yang
mungkin akan menjadi penengah diantara kedua kubu tersebut. Dalam hal ini ekonomi
islam akan hadir sebagai salah satu alternatif untuk menuntaskan sebuah
gejolak sosial dan ekonomi, dengan berusaha memberikan sebuah tawaran konsep
untuk menjawab persoalan ini. Bagaimanakah ekonomi Islam bersikap terhadap
kebijakan kenaikan harga BBM?
Sesungguhnya, Ekonomi Islam menghendaki tidak ada rekayasa yang merugikan dalam perputaran ekonomi. Penentuan harga diserahkan kepada mekanisme pasar. Harga-harga dibiarkan naik-turun secara alami, tanpa rekayasa. Itulah sebabnya, Rasulullah sebagai pemimpin tidak mengintervensi penentuan harga barang (tas’îr). Padahal sebelumnya beliau diminta oleh rakyatnya untuk menentukan harga disebabkan harga-harga di pasaran membumbung tinggi. Berikut ini kutipan teksnya:
“Pada
zaman Rasulullah harga membumbung tinggi, umat Islam matur kepada Rasulullah:
ya Rasul, andai Engkau berkenan menentukan harga. Jawab Rasul, “Sesungguhnya
semua persoalan ada di genggaman Allah, dia yang memberi peluang, memberi
rizki dan menentukan harga”. Sesungguhnya aku bermohon semoga aku bertemu Azza
wa Jalla dan tidak ada seorang pun yang menuntut kepadaku karena kedzalimanku
kepadanya. Baik nyawa maupun harta.”
Pernyataan Rasul ini (“Sesungguhnya aku bermohon semoga aku bertemu Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntut kepadaku karena kedzalimanku kepadanya”) sungguh menggambarkan kearifan seorang pemimpin untuk rakyatnya. Beliau tidak mau ada yang dirugikan, baik penjual maupun pembeli. Oleh sebab itulah, Beliau tidak berkenan mematok harga barang. Para Ulama Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah pun merespon Hadis di atas dengan menetapkan keharaman tas’îr (mematok harga tertentu). Menurut mereka,tas’îr adalah kedzaliman. Kenapa dzalim? karena pada dasarnya masing-masing orang diberikan kemerdekaan untuk memutar hartanya. Pedagang menjual barang tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan pembeli ingin mendapatkan barang dengan harga yang rendah. Ketika kemauan penjual dan keinginan pembeli saling berhadapan mereka diberikan keluasan untuk saling tawar menawar menentukan harga yang disepakati. Intervensi penguasa dalam menentukan harga adalah merupakan pengekangan terhadap kebebasan mereka. Salah satunya pasti ada yang ‘dipaksa’ untuk menerima.
Di samping bertentangan dengan prinsip jual beli yang saling rela (‘an tarâdhin), pada saat yang sama, pemerintah berkewajiban untuk memelihara kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. Pemihakan pemerintah untuk memelihara kemaslahatan pembeli dengan harga yang rendah, tidak lebih utama dengan keinginan penjual untuk mendapatkan harga yang diinginkannnya.
Sementara itu, Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah sebenarnya juga sepakat bahwa al-ashlu fi al-tas’îr al-hurmah (hukum asal dalam tas’îr adalah haram). Namun mereka memperbolehkannya dalam komoditi kebutuhan pokok demi memelihara kemaslahatan manusia. Barang-barang yang merupakan kebutuhan (al-hâjiyât) pokok tidak bisa diserahkan ke pasar sepenuhnya. Oleh sebab itu, tas’îr diperkenankan dalam hal ini.
Pandangan madzhab ini
sebenarnya cukup rasional lantaran akan menghindarkan dari bebepa bahaya di
perputaran ekonomi. Misalnya dapat menghindarkan dari monopoli atau oligopoli
di suatu pasar(kesepakatan sebagian pedagang untuk mematok harga tertentu).
Berdasarkan pandangan ini, maka bahan-bahan pokok seperti beras, lauk-pauk,
minyak goreng dan bahan-bahan pokok lainnya bisa saja ditas’îr oleh pemerintah.
Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan rakyat.
Bila ditilik bersama dua argumen ulama madzhab di atas, Intinya segala tindakan, baik oleh penjual ataupun pembeli, yang menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik-turunnya yang tidak lagi alami, adalah melanggar ketentuan fiqh.
Bila ditilik bersama dua argumen ulama madzhab di atas, Intinya segala tindakan, baik oleh penjual ataupun pembeli, yang menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik-turunnya yang tidak lagi alami, adalah melanggar ketentuan fiqh.
Benang merah yang bisa
ditarik dari penjelasan di atas, ketentuan tas’ir ini adalah bentuk
dari idealisme fiqh untuk mewujudkan ekonomi yang sehat dan adil. ‘Adamu al-tas’ir memang
menuntut reformasi total dalam konteks perekonomian Indonesia dewasa ini. Peneyerahan
harga pada mekanisme pasar, menuntut undang-undang anti monopoli, pemerintah
yang bersih dan adil, pemerataan sumber daya ekonomi (QS. Al-Hasyr, 7),
pendongkrakan daya beli masyarakat, undang-undang anti eksploitasi (QS.
Al-Zuhruf, 32) dan tindakan konsisten pemerintah untuk memerangi tindakan
apapun yang menjadi virus bagi penyehatan kehidupan ekonomi. Jika syarat-syarat
ini sudah dipenuhi, keharaman tas’ir bisa landing dalam kenyataan.
Lantas bagaimana tas’îr dalam bidang BBM. BBM sebenarnya tidak jauh beda dengan barang-barang seperti bahan pokok lain. Namun, perlu diingat bahwa dalam teori kepemilikan BBM adalah milik negara atau dengan ungkapan lain BBM adalah milik rakyat Indonesia, bukan milik personal. Oleh sebab itu, sebenarnya tas’îr yang dilakukan pemerintah dalam BBM sah-sah saja karena barang tersebut milik negara. Tidak mungkin harga BBM diserahkan pada masing-masing SPBU. Hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh keadaan. Kemaslahatan rakyat adalah tujuan utama tas’îr yang dilakukan pemerintah.
Lantas bagaimana tas’îr dalam bidang BBM. BBM sebenarnya tidak jauh beda dengan barang-barang seperti bahan pokok lain. Namun, perlu diingat bahwa dalam teori kepemilikan BBM adalah milik negara atau dengan ungkapan lain BBM adalah milik rakyat Indonesia, bukan milik personal. Oleh sebab itu, sebenarnya tas’îr yang dilakukan pemerintah dalam BBM sah-sah saja karena barang tersebut milik negara. Tidak mungkin harga BBM diserahkan pada masing-masing SPBU. Hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh keadaan. Kemaslahatan rakyat adalah tujuan utama tas’îr yang dilakukan pemerintah.
Pada kasus harga BBM memang tidak boleh tidak, Pemerintah (bukan penguasa yang korup) harus turun tangan untuk intervensi pasar, menentukan harga yang bisa dijangkau kantong rakyat. Dalam hal ini tas’ir menjadi boleh, bahkan terkadang wajib dilakukan. Sebab, tas’îr dapat menjadi alat untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat banyak. Dalam terminologi fiqh/ushul fiqh, ada kaidah, maslahah umum bisa mengalahkan maslahah khusus. Kalau tidak ada tas’ir diasumsikan akan mewujudkan kemaslahatan beberapa gelintir orang, sementara tas’ir digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat banyak, dalam kondisi ini, tas’ir bisa ditolerir (Majmu’, XIII, 29; Al-Halal Wa Al-Haram fi al-Islam, 246).
Namun demikian, apakah dengan kebolehan tas’îr lantas pemerintah bisa seenaknya menaikkan harga BBM? Inilah pertanyaan inti dari artikel ini. Karena alasan kebolehan tas’ir adalah demi mewujudkan kemaslahatan rakyat, didukung lagi oleh jargon; tasharruf al-imam ‘ala ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (perlakukan pemerintah kepada rakyat, harus didasarkan kepada kemaslahatan rakyat), maka tas’îr harus berpijak pada prinsip al-maslahah al-‘ammah, (membela kepentingan rakyat). Kini patut dipertanyakan, apakah kenaikan harga BBM yang otomatis berpengaruh pada kenaikan harga banyak barang telah mencerminkan kemaslahatan umum?.
Kebolehan tas’îr sampai pada batas harga yang masih bisa dijangkau oleh kemampuan rakyat (tsaman mitsl). Bukan di atas batas itu. Sehingga, kalau saja tas’ir yang dilakukan pemerintah ditetapkan pada harga yang tinggi, hal itu harus diturunkan sesuai dengan daya beli masyarakat. Kaidah fiqh mengatakan:
"al-Dhorurotu tuqadiru bi qodriha (Keadaan-keadaan darurat ditakar sesuai dengan kadarnya)
Kaidah fiqh ini harus
benar-benar diperhatikan dan dijalankan dalam persoalan ini. Hal ini
dikarenakan keharaman tas’îr adalah keniscayaan yang harus diakui
sebagai suatu hukum asal. Artinya, bila nantinya tas’îr diperbolehkan
maka berarti adalah keadaan darurat, bukan keadaan normal. Oleh sebab itulah,
dalam kasus BBM, kenaikan harga harus secukupnya. Tidak bisa dilakukan
sembarangan. Bila diyakini bahwa dengan menaikkan akan dapat menenagkan hati
dan gocek rakyat maka sesuaikan batasnya (yang memang menjadi
kebutuhan). Oleh sebab itu, penentuan nominal kenaikan harus benar-benar
memperhatikan kemampuan rakyat dan kebutuhan negara. Dan yang terpenting,
penyelesaian akhir dari kenaikan BBM. Bila memang hal ini tidak bisa dihindari
maka harus ada solusi pemecahannya. Pemerintah harus mengkonkritkan beberapa
program untuk mengatasi dampak drastis dari kenaikan BBM, entah apa itu
jurusnya.
‘Alaa kulli hal, seperti apapun yang akan dilakukan pemerintah, haruslah mencerminkan kebijakan yang adil dan arif pada rakyatnya. Perlu diingat dan diperhatikan baik-baik, bahwa tanggung jawab negara dalam Islam bukan hanya pada rakyat tapi juga dihadapan Allah kelak. Bila kebijakannya dinilai buruk bagi rakyat, maka Pemerintahlah yang bertanggung jawab. Sebaliknya bila baik maka pemerintah pulalah yang akan menuainya. Wallahu a’lam bi al-shawabi ( Abdur Rohman, Fkis UTM)
Diambil dari berbagai sumber
Berlanjut ket Tulisan berikutnya..Insya Allah
Berlanjut ket Tulisan berikutnya..Insya Allah